Oleh Kholis Bakri

MKI Media-Al Fudhail  bin ‘Iyadh terkenal karena kesalehan dan ibadahnya. Ia termasuk sosok ulama ahli hadist, dan pernah berguru kepada ulama terkemuka pada masanya, seperti Sufyan ats-Tsauri, al-A’masy, Manshur bin Mu’tamir, dan Hisyam bin Hassan. Fudhail bin Iyadh memiliki pelbagai murid. Kelak para muridnya menjadi ulama besar. Antara lain; Imam Syafi’i, Ibnu Mubarok, Al Ja’fi, Ishaq bin Mansur As Sauli, al-Humaidy, Yahya bin al Qaththan, Abdrurrahman bin Mahdi, Qutaybah bin Sa’id, Marwan bin Muhammad, Abdurrazaq, dan juga Bisyr al Hafy.

Dalam catatan Imam Az Zahabi, Fudhail bin Iyadh meninggal dunia pada tahun 189 Hijriah. Ia wafat di kota suci Makkah. Ia pun mendapat julukan ’abid al-haramain (ahli ibadah di kota suci). Yang menarik dari perjalanan hidupnya, kisah taubatnya dari seorang perampok menjadi orang yang kembali ke jalan kebenaran. Bagaimana kisah pertaubatannya?

Dikisahkan pada suatu malam, sejumlah pedagang ingin melewati lembah pada jalur menuju Sirjis yang menjadi jalur operasi Al-Fudayl. Maka, mereka berunding terlebih dahulu dalam kemah sebelum meneruskan perjalanan. Seorang di antara mereka berkata, “Sungguh, Fudhail bin Iyadh dan gerombolannya biasa melancarkan aksinya di daerah ini. Kita harus berbuat apa?”

Seorang yang lebih alim dari ketiganya menjawab, “Siapkanlah panah-panah kita. Kita akan memanah ke arah mereka bersembunyi. Jika anak panah kita tepat mengenai sasaran, hendaknya kita melanjutkan perjalanan. Bila tidak begitu, sebaiknya kita kembali saja.”
“Akan tetapi,” lanjut dia, “Kita tidak sekadar memanah. Lebih dahulu kita membacakan ayat-ayat Alquran. Semoga Allah menolong kita.”

Masing-masing pria itu menggumamkan beberapa Kalamullah sebelum menjalankan rencana itu. Sementara, tak jauh di sana Fudhail bin Iyadh dan kawan-kawannya sudah bersemangat untuk menggempur kafilah dagang tersebut. Para penjahat itu berniat langsung menyergap begitu mereka mendekati lembah yang gelap.

Tiga pedagang dalam kafilah itu pun bersiap. Orang yang pertama melepaskan anak panahnya setelah membaca Alquran surah al-Hadid ayat 16. “Belum tibakah waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk secara khusyuk mengingat Allah dan mematuhi kebenaran yang telah diwahyukan (kepada mereka), dan janganlah mereka (berlaku) seperti orang-orang yang telah menerima kitab sebelum itu, kemudian mereka melalui masa yang panjang sehingga hati mereka menjadi keras. Dan banyak di antara mereka menjadi orang-orang fasik.”

Fudhail bin Iyadh ternyata mendengar ayat tersebut dibacakan. Tiba-tiba, tubuhnya terasa bergetar hebat. Ia pun merintih, berteriak keras, bahkan kemudian jatuh pingsan. Para anak buahnya mengira, bosnya itu terkena tembakan panah. Akan tetapi, tak ada satu pun luka di tubuh Fudhail bin Iyadh.
“Aku telah terkena anak panah Allah!” seru Fudhail sebelum tak sadarkan diri.
Para pengikutnya membangunkan Fudhail bin Iyadh. Ia pun kembali sadar meskipun tubuhnya kini basah oleh keringat.

Sementara itu, pedagang berikutnya mulai melepaskan anak panah kedua ke arah Fudhail sembari membaca surah adz-Dzariyat ayat 50. Artinya, “Maka segeralah kembali kepada (menaati) Allah. Sungguh, aku seorang pemberi peringatan yang jelas dari Allah untukmu.”
Fudhail pun mendengar ayat ini dibacakan. Kini, ia berteriak lebih keras, “Wahai kalian semua! Aku terkena anak panah Allah!”

Orang terakhir dari kafilah itu meluncurkan panahnya sembar mengucapkan surah az-Zumar ayat 54. Terjemahannya, “Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi).”

Lantunan ayat ini semakin membuat Fudhail gelagapan. Ia pun menyuruh seluruh anak buahnya untuk pergi meninggalkannya.
“Kalian semua, pulanglah! Sungguh, rasa takutku kepada Allah telah merasuk dalam jiwaku. Aku akan meninggalkan semua kejahatan yang selama ini kulakukan!”

Fudhail sendiri langsung melangkahkan kakinya ke arah Makkah. Belum sampai di sana, ia berkemah di suatu daerah dekat Narawan.
Yang Fudhail tak ketahui, Sultan Harun al-Rasyid di istananya sedang bermimpi dalam tidurnya. Suatu suara gaib menyeru kepadanya dalam keadaan tak sadar itu, “Sungguh, Fudhail bin Iyadh takut kepada Allah dan memilih mengabdikan diri kepada-Nya. Sambutlah ia di negerimu!”

Sultan al-Rasyid keesokan paginya menyuruh beberapa orang untuk menemukan Fudhail bin Iyadh. Setelah beberapa waktu, orang-orang suruhan itu dapat membawa Fudhail ke istana di Baghdad.
“Wahai Fudhail,” kata Sultan, “Aku melihat dalam mimpiku, suatu suara menyeru kepadaku tentang keadaanmu. Aku diseru agar menyambutmu datang.”

Fudhail terkesima. Ia lantas menyeru ke arah langit, “Ya Rabb, Dengan kemurahan dan keagungan-Mu, Engkau telah mencintai seorang hamba yang berdosa, yang telah menjauh dari-Mu selama 40 tahun!”

Dalam riwayat lain, disebutkan juga pertaubtan Fudhail dalam kitab As Siyar A’lam an-Nubala’, Jilid VII, halaman 393. Fudhail bin Iyadh yang lahir di Samarqand pada abad ke-2 Hijrah dikisahkan ia mencapat hidayat, karena jatuh cinta pada seorang wanita.Pada suatu malam ia memanjat tembok untuk menemui wanita tersebut, ketika itu ia mendengar bacaan ayat suci Al-Qur’an dalam Q.S al –Hadid ayat 16;

۞ أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ أَن تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ ٱللَّهِ

Artinya; Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah.

Seketika setelah mendengar ayat ini, maka Fudhail bin Iyad langsung berkata: “Tentu, wahai Tuhan ku, Sungguh telah saatnya aku kembali kepada Mu“.

Tak berselang lama, usai mendengar ayat tersebut, ia pun kembali. Di tengah perjalanan pulang, sejenak ia beristirahat di sebuah bangunan yang telah rusak. Di tengah istirahatnya, datang satu rombongan. Mereka adalah sekelompok orang yang ingin berniaga.

Dari balik bangunan usang itu, Fudhail mengintip gerak-gerik mereka. Terjadi perdebatan alot di antara mereka. Sebagian rombongan ingin segera melanjutkan perjalanan.“Sebaiknya kita melanjutkan perjalanan” tutur mereka .

Namun di sisi lain tampak terlihat was-was. Lantas berkata; “Sebaiknya kita beristirahat di daerah ini sampai pagi. Pasalnya si bandit, Fudhail persis berada di arah jalan yang kita lewati ini. Ia bisa mencegat dan merampok barang bawaan kita,” seru yang lain. Percakapan mereka sayup-sayup terdengar oleh Fudhail bin Iyadh.

Lantas, ia pun merenung, “Aku melakukan dosa maksiat di malam hari, padahal kaum muslimin di sini ketakutan sebab diri ku. Sejatinya, inilah pertanda Allah menggiringku kepada mereka, agar aku berhenti dari berbuat maksiat “Ya Rabb, aku telah bertaubat kepada-Mu dan aku jadikan taubatku dengan tinggal di Masjid Haram (Kota Mekah),” begitu janji Fudhail.

Sejak saat itu, Fudhail si perampok ini pun bertaubat. Kita tidak tahu jalan hidayah bagi seseorang. Jangan sepelekan, hal yang terlihat kecil ternyata ini menjadi jalan bagi seseorang untuk kembali kepada Allah. Hidayah itu milik Allah, bukan manusia. Bahkan, rasulullah tidak bisa memberi hidayah kepada pamannya, Abu Tholib yang dicintainya dan selalu melindungi perjuangan dakwahnya.

Tugas kita berikhtiar untuk mendapat hidayah Allah dan mengajak orang lain untuk mendapat hidayah-Nya. Antara lain, disebutkan oleh seorang alim ulama, ada beberapa hal yang bisa menjadi jalan untuk istiqamah dalam hidayah Allah, antara lain bergaul dengan orang-orang sholeh, tilawah Quran, Qiyamul Lain (tahajud), dan berzikir di pagi hari.

Kita tidak tahu, apakah akhir hidup kita husnul khotimah, atau sebaliknya? Maka,hanya bermohonkan kepada Allah untuk mendapat hidayah dan taufik-Nya yang selalu menyertai hidup kita. Wallahu ‘alam. (dari berbagai sumber)