Akibat Jauh dari Ulama
Oleh Kholis Bakri
MKI-Media. Karena kebodohan kita, setan dengan leluasa memperdaya kita. Yang berbahaya dalam hal akidah. Setan mengusik kita, untuk mempertanyakan dzat Allah dan sifat-sifatnya, hingga kita menjadi ragu terhadap Allah Ta’ala. Rasulullah pernah bersabda, “sesungguhnya setan itu mendatangi salah seorang diantara kalian seraya bertanya,”siapakah yang menciptakanmu?” Dia menjawab, “Allah”. Setan bertanya, “siapa yang menciptakan langit dan bumi?” Dia menjawab, “Allah” setan bertanya lagi,” siapa yang menciptakan Allah?” Jika salah seorang diantara kalian merasakan sebagian dari yang demikian itu, maka hendaklah dia berkata, “aku beriman kepada Allah dan rasulnya (HR Muslim)
Iblis dan pasukannya juga berusaha memperdaya kita, dengan memusuhi Allah, dengan menebar rasa iri dengki, misalnya dengan mengatakan, “mengapa Allah menyempitkan rezeki orang yang bertakwa dan melapangkan rezeki orang yang durhaka?”. Semua bencana ini terjadi karena kita jauh dari ilmu, dan menjauh dari para ulama, meragukan fatwa fatwanya, bahkan membencinya. Karena itulah, kita sering berbicara tanpa ilmu sama sekali, dan sering mengomentari bahkan mencaci sesuatu, misalnya lewat media sosial, tanpa didasari ilmu sama sekali. Menurut Ibnu Jauzi, kendaraan setan itu gosip, keraguan, dan perdebatan yang tidak membuahkan keyakinan yang bisa dijadikan pegangan. Dalam Al-Qur’an disebutkan, “sebagian mereka membisikan kepada sebagian lain perkataan-perkataan indah untuk menipu (QS al An’am, 112)
Bahayanya berbicara tanpa ilmu, apalagi berkaitan dengan agama, sudah diperingatkan oleh Allah ta’ala dalam firmanNya… “dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung”. (QS. an-Nahl : 116).
Ibnu Katsir rohimahullah mengatakan berkaitan dengan ayat ini, termasuk dalam hal ini orang yang membuat bid’ah dalam perkara agama, yang tidak ada landasan syar’inya, atau menghalalkan hal yang Allah haramkan, atau mengharamkan sesuatu yang Allah mubahkan, semata-mata berdasarkan akal pikirannya semata. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda, “sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu itu secara tiba-tiba dengan mencabutnya dari hamba-hambanya akan tetapi Allah mencabut ilmu itu dengan mencabut,mewafatkan para ulama hingga tidak ada lagi orang yang berilmu. Sehingga manusia menggambil pemimpin bodoh. Sehingga mereka ditanya dan berfatwa tanpa ilmu sehingga mereka sesat dan menyesatkan” ( HR Bukhori Muslim).
Abdullah bin Mas’ud rodhiyAllahu ‘anhu juga mengatakan, “wahai manusia, barangsiapa diantara kalian ditanya tentang suatu ilmu maka hendaklah ia menjawabnya dengan ilmu yang ada padanya, dan barangsiapa yang tidak ada pada dirinya ilmu maka hendaklah ia mengatakan, ‘Allahu a’lam”. Karena perkataan ‘Allahu a’lam’ terhadap permasalahan yang ilmunya tidak ada pada dirimu merupakan sebagian dari ilmu itu sendiri. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman kepada Rasulullah, “katakanlah (wahai muhammad), “aku tidak meminta upah sedikitpun padamu atas da’wahku dan bukanlah aku termasuk orang-orang yang mengada-adakan”. (QS. Shood : 86)
Imam Ibnu al-Jauzi menyebutkan, bahwa di antara bentuk talbis Iblis (tipu daya)terhadap orang awam, ialah ketika seseorang itu merasa puas dengan jalan pikiran, atau pemahaman dirinya sendiri. Tidak peduli, apakah pemahamannya menyelisihi ulama ataukah tidak. Sehingga bila fatwa para ulama menyelisihi kepentingannya, ia buru-buru melakukan bantahan, bahkan, diantara mereka, ada yang mencela dan mencaci para ulama.
Iblis banyak memperdaya orang-orang awam, untuk mendatangi majelis majeli zikir. Mereka menangis dan menampakan kekhusyuannya, tapi di luar majelis, mereka masih melakukan kebiasaan lamannya, menggunjing, tidak berbakti pada orang tua, dan berbuat aniaya kepada orang lain. Mereka beranggapan dosanya akan terhapus, dengan mendatangi para ulama. Bahkan ada sekelompok umat, yang mempraktekan berbagai infak sebagai kafarat dosa, dengan jumlah tertentu. Dengan keyakinan dosanya akan terhapus, jika membayar sejumlah infak kepada para imam mereka.
Talbis Iblis terhadap orang orang kaya, menurut Ibnu Jauzi memiliki empat cara. Pertama, dari cara mencari harta, mereka lebih banyak memperolehnya lewat riba. Kedua, dari sisi kebatilannya, mereka tidak mau mengeluarkan zakat, karena beranggapan mereka tidak dibebani kewajiban zakat. Ketiga, dari sisi penumpukan harta, orang kaya melihat dirinya lebih baik dari orang miskin. Padahal, kemuliaan seseorang tergantung pada keutamaan jiwanya. Keempat, dari sisi pembelanjaannya. Orang kaya membelanjakan hartanya secara berlebih-lebihan, bukan sesuatu yang diperlukan, tapi untuk menaikan gengsi dan status sosialnya.
Rasulullah telah mengingatkan dalam sabdanya, ”tidak bergeser kaki seorang hamba sehingga ia akan ditanya tentang empat perkara (yaitu): tentang umurnya untuk apa ia habiskan? tentang ilmunya untuk apa ia amalkan? Tentang hartanya darimana ia dapatkan dan kemana ia belanjakan? dan (tentang badannya untuk apa ia gunakan?. (HR at-tirmidzî).
Dalam bersedekah, setan pun menjebak kita dalam riya. Amal soleh tidak dilandasi karena Allah. Dalam bersedekah, ia lebih mementingkan orang lain, yang akan berdampak pada ketenaran dirinya, sedangkan kerabatnya yang miskin tidak pernah diperhatikan. Rasulullah bersabda, “sedekah yang diberikan kapada orang miskin itu (pahalanya) adalah sedekah. Sedangkan, sedekah yang diberikan kepada kerabat ada dua pahala, yaitu pahala sedekah dan pahala hubungan kekerabatan (HR Abu daud, Ahmad, Tirmizi dan Annasa’i)
Orang orang miskin pun tidak terlepas dari perangkap Iblis. Diantara mereka, ada yang menampakan diri sebagi orang miskin, dia terus menerus menengadahkan tangan kepada orang lain dan mengemis. Rasululah bersabda, “ barangsiapa meminta-minta harta manusia karena menginginkan harta yang banyak, berarti dia meminta bara neraka. Maka, terserah apakah dia meminta yang sedikit atau banyak (HR muslim).
Orang miskin seharusnya bersikap wajar, dan menyembunyikan kemiskinan, kemudian bersyukur atas apa yang didapatnya. Tapi, Iblis kembali mendatanginya, mungkin dia berkeluh kelah atas takdir Allah itu, atau dia merasa lebih baik dari orang kaya, karena kezuhudannya. Ini pun bagian dari talbis Iblis.
Perangkap Iblis lainnya, yang banyak orang terpedaya, antara lain karena tradisi. Mereka meniru leluhurnya, sesuai dengan keyakinan yang diterimanya sejak kecil, tidak peduli apakah menyimpang, dari syariat islam ataukah tidak. Sudah saatnya kita bertanya, apakah kita menjalankan berbagai ritual agama, karena tradisi ataukah ilmu? Ketika ada orang lain yang memberi nasehat, dengan menjelaskan berbagai dalil yang kuat, maka kita langsung berontak, tak mau menyimaknya.
Kita harus menghormati para alim ulama karena ketaatannya kepada Alloh dan rasul Nya, Namun, Iblis mulai melancarkan siasat busuknya. Para alim ulama dihormati secara berlebihan. Bahkan, ketika mereka sudah wafat, makamnya ramai didatangi bukan untuk mendoakannya karena jasa-jasanya, tapi meminta minta, seolah-olah mereka yang suda wafat itu bisa mengabulkan semua hajatnya.
Ingatlah kisah kesyirikan yang dilakukan kaum Nabi Nuh, dengan menyembah wadd, suwaa’, yaghuts, ya’uq dan nasr, seperti dijelaskan dalam surat Nuh ayat 21-24. Mereka sesungguhnya orang-orang soleh sebelum zaman Nabi Nuh, ketika mereka wafat, setan membisikkan kepada orang-orang di zaman itu, supaya membuat gambar-gambar dan patung mereka, untuk mengingat jasa jasa mereka, , tak ada satu pun pikiran untuk menyembah mereka. Namun, ketika zaman telah berlalu lama, dan generasi telah berganti, ilmu telah dilupakan, akhirnya patung patung itu pun disembah. (bersambung)