Oleh Kholis Bakri

SAHABAT sejati itu, kalas pas Ramadhan bagi anda mungkin yang sering ngajak bukber. Teman sejati itu yang biasa traktir. Kalau akhir bulan, dompet lagi cekak, bisa dipinjemin uang, Jadi tempat curhat, sekaligus ngasih solusi. Punya hobi yang sama. Dan, tidak ngeselin

Itu mungkin ungkapan anak muda ketika memahami teman sejati. Sesungguhnya Alloh Ta’ala  telah menciptakan kita dengan keunikan masing-masing yang berbeda, untuk saling mengenal dan diikat dalam satu persaudaraan. Rasulululloh shallallahu alaihi wa sallam, mengajarkan bahwa orang yang ingin dilapangkan rezekinya, dan dipanjangkan umurnya, maka  hendaklah ia menghubungkan silaturahmi. (HR Muslim).

Hadist ini memberi makna keberkahan dalam silaturahmi. Karena, silaturahmi sejatinya adalah saling bertukar doa yang menuju kebaikan. Silaturahmi selalu diawali dan diakhiri dengan salam, yang artinya semoga Allah memberikan rahmat dan berkah-Nya kepada kita semua.

Inilah yang seharusnya membingkai sebuah pertemanan dalam Islam. Orang yang beriman dan akhlaknya terpuji yang layak dijadikan sebagai teman sejati. Kehadiran mereka di tengah-tengah lingkungan begitu dinanti dan dirindukan, karena selalu menjaga cara pergaulan sebagaimana yang diteladankan oleh Rasululloh.

Bertanyalah kepada diri kita, bagaimana lingkungan sekitar memandang kita. Seorang muslim sejati adalah pribadi yang mampu menjadi cerminan kesempurnaan akhlak dalam bergaul. Ia selalu memberikan senyuman, dan mendoakan sahabatnya, selalu mengajak pada kebaikan, dan ketaatan kepada Alloh Jalla Jalaaluh.

Seorang muslim sejati akan menjadikan Islam sebagai pedoman dasar dalam tata krama sosial. Tidak pernah membeda-bedakan latar sosial dan ekonominya. Karena, yang menjadi ikatan adalah kesamaan akidahnya. Karena itu, seorang muslim sejati akan mudah bergaul dan berinteraksi secara sosial sebagai bagian dari kesadaran keimanannya

Seorang muslim sejati tak memerlukan kursus kepribadian agar mampu menjadi sosok sukses dalam pergaulan. Cukuplah Islam sebagai pedoman yang menuntunnya, untuk menjadi pribadi yang rendah hati, ramah, memiliki simpati dan empati yang tinggi, serta menjadi inspirasi kebahagiaan bagi sahabatnya.

Rasululloh mengumpamakan persahabatan itu, ibarat kita berada di dekat penjual parfum atau. berada bersama peniup api di bengkel besi, seperti hadist yang diriwayatkan dari Abu Musa radhiyallohu anhu“perumpamaan berkawan dengan orang baik dan berkawan dengan orang jahat, tak ubahnya seperti berkawan dengan penjual parfum dan dengan tukang tiup api di bengkel tukang besi. apabila berkawan dengan penjual parfum adakalanya engkau diolesi parfum atau membelinya. atau paling tidak engkau dapat mencium bau harumnya. jika engkau berkawan dengan peniup api di bengkel tukang besi, kadang pakaianmu bisa terbakar, atau setidaknya engkau mencium bau busuknya.” (HR Muslim)

Untuk menilai seseorang cukup dinilai dengan siapa yang bergaul. Karena, sahabat itu akan membawa kita kepada ketakwaan atau sebaliknya menjerumuskan kita kepada kekufuran.

Sahabat sejati itu, tidak mau masuk surga sendirian. Ia akan selalu ingat dengan sahabat-sahabatnya, yang dahulu di dunia sering bergaul bersamanya.  Rasululloh shallallahu alaihi wa sallam bersabda,  apabila penghuni surga telah masuk ke dalam surga, lalu mereka tidak menemukan sahabat sahabat mereka yang selalu bersama mereka dahulu sewaktu di dunia. mereka pun bertanya kepada Allah : “ya Rabb, kami tidak melihat sahabat sahabat kami yang sewaktu di dunia sholat bersama kami dan berjuang bersama kami.” maka Allah berfirman, “pergilah kamu ke neraka, lalu keluarkanlah sahabat sahabatmu yang hatinya ada iman walau hanya sebesar zarah.” (HR  Ibnul Mubarak)

Perjuangan Rasululloh selalu mendapat dukungan dari para sahabatnya. Saat banyak orang meragukan pengakuan Rasululloh yang telah melakukan Isro Mi’raj, Abu Bakar tetap mempercayainya. Karena itulah, ia disebut ash-shiddiq. Abu Bakar pula yang menemani Rasululloh saat hijrah, mengarungi perjalanan yang penuh mara bahaya.

Begitu pula dengan sahabat nabi yang lain. Mereka rela mengorbankan jiwa dan raganya demi Islam dan nabi yang sangat dicintainya. Ketika Rasululloh mengumandangkan jihad pada saat ekonomi lagi paceklik, para sahabat setianya rela mengorbankan harta miliknya. Abu Bakar menyerahkan seluruh hartanya, dan Umar bin Khattab menyerahkan separo hartanya.

Kesetiaan para sahabat di era awal dakwah Rasulullah ini bukanlah sebuah hal yang mudah. Mereka rela bersabar dari berbagai hinaan dan penindasan yang dilakukan oleh kafir Quraish, demi mendukung dakwah nabi untuk menegakan kalimah tauhid. Pengorbanan mereka teruji, kecintaan mereka terhadap Rasululloh melebihi terhadap dirinya dan keluarganya. Karena itulah, beberapa sahabat nabi ini mendapat jaminan surga dari Alloh Azza wa Jalla.

Rasululloh berhasil menghilangkan sekat-sekat fanatisme kesukuan dan menggantinya dengan persaudaraan seiman. Saat kaum Muhajirin datang ke Madinah, mereka tak memiliki apa pun. Lalu, penduduk Madinah menjadikan mereka sebagai saudaranya. Mereka rela berbagi harta dan tempat tinggal.

Tak mengherankan, kalau mereka disebut sebagai generasi terbaik. Karena, kesempurnan imannya dan kokohnya persaudaraannya. Kata nabi, orang yang sempurna imannya, yang mencintai saudaranya sebagai mencintai dirinya sendiri.

Lalu, siapakah yang menjadi sahabat sejati kita saat ini?

Bagi pasangan suami istri, teman hidupnya yang seharunya menjadi sahabat sejatinya. Suami yang terbaik adalah yang membimbing istri dan keluarganya menuju kepada ketaqwaan. Begitu pula, seorang istri bagi suaminya, tak sekedar memahami hak dan kewajibannya sebagai istri, juga menjadi sahabat sejati, yang siap mengarungi bantera hidup dalam suka dan duka, menjadi motivator bagi suaminya, dan penghias kesenangan dalam rumah tangganya.

Ali bin Abi Thalib radhiyyallahu anhu pernah menuturkan sabda nabi dalam riwayatnya, , “ada empat perkara yang menjadi kebahagiaan seseorang, yaitu istri yang saleh, anak anak yang berbakti, teman teman yang saleh, dan rezeki (mata pencahariaanya) berada di negeri sendiri.” (HR. Ad-dailami).

Saatnya, kita mengevaluasi siapakah yang menjadi sahabat sejatinya kita?  Karena, seseorang bisa dinilai dengan siapa ia bergaul. Tentu, bukan sahabat sejati jika ia selalu mengajak pada kemaksiatan, menebarkan fitnah atau mengkhianati amanah.

Seorang sahabat sejati, bukan mendekat karena harta dan keperluannya. Namun, sahabat sejati yang selalu mengingatkan ketika kita lupa, meluruskan ketika kita tersesat. Karena itulah, hakekah sahabat sejati.

Wallahu ‘alam