Akal dan Hawa Nafsu

Oleh Kholis Bakri

HAWA nafsu, istilah yang konotasiya negatif. Sering diartikan sebagai dorongan hati yang kuat untuk melakukan perbuatan yang tidak baik. Dalam Al-Qur’an kata itu disebut  dengan Annafs, sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an, ketika menceritakan kisah Nabi Yusuf alaihissalam. dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. sesungguhnya Tuhanku maha pengampun lagi maha penyanyang.” (QS. Yusuf: 53).

Ayat ini merupakan dialog Nabi Yusuf dengan Malaikat Jibril.  Saat itu, Nabi Yusuf  berusaha dirayu oleh istri seorang pembesar kerajaan Mesir, untuk berselingkuh. Namun,  ia berhasil melawan godaan ini. Nabi Yusuf menegaskan kepada sang Pejabat, bahwa dirinya tidak berselingkuh dengan istrinya. Meskipun akhirnya ia difitnah hingga dijebloskan ke penjara.

Saat itu, Malaikat Jibril sempat bertanya kepadanya, “apakah memang engkau tidak pernah merasakan keinginan itu di suatu hari pun?”  Nabi Yusuf pun menjawab, seperti yang termaktub dalam ayat itu. Tafsir ayat ini, antara lain dikatakan oleh Mujahid, Sa’id, Ibnu Jubair dan Ikrimah,

Sementara Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim berpendapat lain.  Ayat ini merupakan pengakuan istri Al Aziz, Pejabat Tinggi Kerajaan Mesir.  Sesuai dengan alur kisah dalam ayat ini, saat para wanita kerajaan dikumpulkan kemudian sang istri yang menurut riwayat bernama Zulaikha  berkata “aku tidak membebaskan diriku dari kesalahan,  sebab hawa nafsu diriku selalu membisikkan godaan dan angan-angan kepadaku karena itulah aku menggodanya.”

Hawa nafsu adalah dorongan biologis berupa syahwat yang telah dianugerahkan Alloh Ta’ala kepada manusia, untuk menyukai wanita, anak-anak,dan berbagai harta lainnya, seperti emas dan kendaraan yang bagus. Dalam surat Ali Imron ayat 14, Alloh menutup ayat ini dengan mengatakan inilah perhiasan dunia. Sungguh di sisi Alloh, tempat kembali yang sangat bagus.

Supaya tidak terpedaya dengan hawa nafsu, manusia diberi akal untuk mengendalikannya. Karena itu, hawa nafsu yang berupa fitrah itu  tidak perlu dimatikan, tapi harus dikendalikan ke jalan yang lurus. Dalam berbagai ayat dalam Al-Qur’an, Alloh menegaskan di akhir ayat, dengan kata “apakah kalian tidak berakal”, untuk menunjukan perilaku ingkar yang dilakukan oleh manusia, meskipun kebenaran sudah ditunjukan dengan nyata.

Apa yang dimaksud dengan akal itu? Para ilmuwan modern  terus melakukan eksperiman bagian mana dari tubuh manusia yang mengontrol perasaan dan kehendak.

Antara jiwa manusia dan sistem syaraf terdapat hubungan fungsional yang menakjubkan. Sel sel saraf berfungsi mengantarkan pengaruh dari luar untuk dikelola dan dipahami oleh jiwa manusia yang tercermin dalam aktivitas otak Allah Ta’ala berfirman, “dan jiwa serta penyempurnaannya (penciptaannya). maka allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” (QS Asy-syam: 7-8).

Manusia sudah diberi anugerah dengan kemampuan untuk menyeleksi berbagai kemungkinan dari keputusan yang akan diambilnya baik berupa kebaikan ataupun kejahatan. Artinya manusia memiliki kebebasan dalam berkehendak. Karena itulah, manusia harus bertanggungjawab atas kehendaknya.

Alloh telah menunjukan tanda-tanda di alam ini, sebagi bukti kebesaran-Nya, lalu Alloh pun mengutus para nabi dan rasul  untuk menyampaikan risalah tauhid dalam kitab-kitab-Nya sebagai petunjuk bagi umat manusia.

Lalu masihkah kita tidak mau menggunakan akal untuk memilih kebenaran?