Oleh : Fahmi Salim, Direktur Baitul Maqdis Institute – Majelis Tabligh PP Muhammadiyah

MKI Media, Jakarta-Ketika Donald Trump meluncurkan “Rencana 21 Poin” untuk Gaza, publik internasional segera terbelah. Di satu sisi, rencana itu menjanjikan gencatan senjata, rekonstruksi, dan penghentian krisis kemanusiaan.

Namun di sisi lain, banyak klausulnya dianggap berat sebelah, tidak realistis, dan mengabaikan aktor utama di lapangan: rakyat Palestina   dan perlawanan yang tumbuh dari Gaza  sendiri. “Proposal 21 Poin untuk Gaza” adalah rancangan gencatan senjata dan tata kelola pasca-perang yang disusun oleh lingkaran dekat Trump: Steve Witkoff, Tony Blair, dan Jared Kushner.

Rencana itu segera menimbulkan pro-kontra. Washington Post dan beberapa media Barat menyebutnya sebagai cetak biru ambisius yang bisa mengatur ulang Gaza setelah perang. Namun bagi dunia Arab, blueprint itu terasa seperti deja-vu, lagi-lagi solusi dari luar, yang lebih banyak melanggengkan kepentingan Israel dan Amerika ketimbang aspirasi rakyat Palestina.

Tidak butuh waktu lama, negara-negara Arab inti — Qatar, Mesir, Yordania, dan Arab Saudi — mengajukan amandemen resmi atas draft tersebut. Mereka bahkan menggandeng Turki, Indonesia, Pakistan, dan Uni Emirat Arab sebagai penandatangan pendukung, lalu menyerahkannya ke Washington.

Mengurai Perbedaan Versi AS dan Amandemen Arab

Lima isu pokok menunjukkan betapa berbeda cara pandang Washington dan negara-negara Arab:

Pertama, soal penarikan pasukan Israel. Proposal Trump membuka peluang Israel tetap memiliki “kehadiran perimeter” yang tidak didefinisikan dengan jelas.

Artinya, bahkan setelah perang, bayangan pasukan IDF masih akan menggantung di sekitar Gaza. Amandemen Arab menolak wilayah abu-abu ini. Mereka meminta penarikan penuh dalam dua fase jelas. Simpel dan lugas: Israel harus benar-benar keluar. Sebab pengalaman menunjukkan Netanyahu  CS sangat licin dan lihai memainkan tenggat waktu dan mengulur pasukan IDF.

Kedua, pasukan internasional. Washington mengusulkan “Pasukan Stabilisasi Internasional sementara” yang langsung masuk Gaza untuk mengendalikan keamanan sambil melatih pasukan Palestina. Arab mengoreksi: pasukan seperti itu hanya boleh di perbatasan, bukan di tengah Gaza, apalagi kontak langsung dengan penduduk.

Mereka menekankan pasukan itu harus mayoritas dari negara Arab dan berfungsi mirip pasukan ‘penjaga perdamaian’ PBB, bukan tentara pendudukan baru. Dalam konteks ini, komitmen Presiden Prabowo yang akan mengirim 20.000 TNI ke Gaza dalam misi ‘peace keeping’ dengan mandat internasional, bisa diwujudkan.

Ketiga, senjata Hamas. Versi AS keras: semua persenjataan ofensif Hamas harus dihancurkan, dan para pejuangnya hanya bisa memilih antara amnesti atau keluar ke luar negeri. Versi Arab lebih lunak: Hamas “meletakkan senjata” secara sukarela, di bawah pengawasan internasional.

Ultra Palestine, salah satu media yang membocorkan detail ini, menekankan perbedaan terminologi. “Disarmament” menyiratkan pelucutan paksa oleh Israel, sementara “laying down” menunjukkan komitmen sukarela.

Keempat, tata kelola Gaza. Trump membayangkan pemerintahan transisi dengan campuran orang Palestina “terpilih” dan pakar internasional, diawasi badan internasional baru bikinan Washington.

Nama Tony Blair bahkan disebut sebagai semacam gubernur. Amandemen Arab menolak model ini. Mereka menawarkan administrasi teknokrat sepenuhnya Palestina, sementara dewan internasional hanya mengawasi tanpa kewenangan langsung.

Kelima, peran Otoritas Palestina (PA). Proposal Trump memberi PA tugas melakukan reformasi di Tepi Barat, dengan janji samar bisa mengambil alih Gaza “di masa depan.” Arab ingin lebih konkret: PA harus langsung punya peran dalam pemerintahan Gaza pasca-perang.

Dari kelima perbedaan itu, terlihat benang merah: negara-negara Arab ingin memastikan masa depan Gaza tetap di tangan Palestina, bukan diatur lewat mekanisme baru yang dikendalikan Washington. Konsensus Arab dan Palestina menegaskan, “Tidak mungkin Gaza diperlakukan seperti protektorat asing. Masa depannya harus ditentukan oleh rakyat Palestina sendiri.”

 

Hamas di Persimpangan Jalan

Hamas per hari ini belum memberi respon resmi, padahal Trump sudah memberi tenggat 2-3 hari Hamas harus meresponnya. Namun jika menilik rekam jejak dan kalkulasi politik mereka, arah sikapnya bisa diprediksi.

Pertama, Hamas hampir pasti menolak versi Trump. Bagi mereka, penghancuran/pelucutan senjata adalah garis merah. Itu akan dianggap sebagai penyerahan total dan pengakuan kekalahan. Padahal fakta di lapangan secara kalkulasi, fasilitas arsenal dan anggota militer Israel banyak yang tumbang.

Terlebih jika tata kelola Gaza diserahkan pada badan internasional buatan Washington, Hamas akan melihatnya sebagai penghapusan peran mereka dari peta politik. Terkait hal itu, “It is not necessary for Hamas to be part of the administrative arrangements in Gaza… Hamas will not allow any external force to interfere,” kata jubir Hamas kepada Anadolu, dengan syarat adanya konsensus nasional. (Anadolu Ajansı)

Kedua, Hamas kemungkinan lebih lentur terhadap usulan Arab. Kata kunci “meletakkan senjata sukarela” membuka ruang negosiasi. Hamas bisa menyatakan bahwa mereka tidak kalah, melainkan memilih kompromi demi konsensus nasional. Perbedaan retorika kecil ini penting: di dunia politik sepanas Timur Tengah, setiap diksi bisa menentukan apakah sebuah langkah dianggap “kekalahan” atau “strategi.” Dalam laporan Middle East Monitor: “The removal of the resistance from Gaza or its disarmament is unacceptable,” kata jubir Hamas, Hazem Qassem, menolak setiap upaya melucuti senjata atau mengeluarkan Hamas dari Gaza. (Middle East Monitor)

Ketiga, soal Otoritas Palestina. Hubungan Hamas dan PA, terutama Fatah, penuh ketegangan. Hamas tidak ingin Gaza jatuh sepenuhnya ke tangan PA. Namun bila amandemen Arab menjanjikan pemerintahan teknokrat netral—bukan dominasi Fatah—maka kompromi bisa dicapai. Hamas bisa menerima PA berperan, asalkan tidak meniadakan mereka.

Keempat, soal pasukan internasional. Hamas selalu curiga terhadap pasukan Barat. Tetapi jika yang ditempatkan adalah pasukan mayoritas Arab dan Islam dengan mandat terbatas di perbatasan, Hamas mungkin menerima. Itu bisa dipahami sebagai perisai politik untuk mencegah Israel masuk kembali, bukan ancaman baru bagi warga Gaza.

Singkatnya, Hamas cenderung menolak keras blueprint Trump, tapi bisa menjadikan amandemen Arab sebagai dasar negosiasi.

 

Mengapa Langkah Arab Penting?

Ada tiga signifikansi besar dari langkah kolektif negara Arab ini.

Pertama, proaktif, bukan reaktif. Selama ini, banyak inisiatif damai datang dari luar kawasan—AS, Eropa, bahkan kadang Rusia. Negara Arab sering sekadar bereaksi, memberi dukungan verbal, tanpa menawarkan rancangan alternatif.

Kini, amandemen ini adalah pernyataan bahwa mereka juga bisa menyusun kerangka solusi. Arab sadar bahwa gelombang dukungan koalisi sipil global dalam isu Palestina adalah momen yang tepat untuk menekan dan mengajukan amandemen.

Kedua, memberi legitimasi regional. Rencana Trump akan sulit diwujudkan tanpa dukungan regional. Dengan amandemen Arab, Washington dipaksa menghadapi kenyataan bahwa legitimasi solusi hanya bisa muncul jika ada cap persetujuan dari negara-negara Arab kunci, terutama Mesir dan Qatar yang punya jalur komunikasi langsung dengan faksi-faksi resistensi di Gaza.

Ketiga, membuka ruang kompromi bagi Hamas. Negara Arab punya posisi unik: mereka bisa menekan sekaligus melindungi Hamas. Jika Hamas hanya berhadapan dengan AS–Israel, pilihannya ekstrem: menyerah atau hancur. Tapi dengan formula Arab, Hamas bisa tetap menjaga marwah perlawanan sambil ikut dalam rekonstruksi Gaza.

Nampaknya poin-poin di atas itulah yang dimaksudkan Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani, Perdana Menteri & Menteri Luar Negeri Qatar, dengan ucapannya, “Beberapa poin dalam rencana perdamaian Trump butuh klarifikasi, tapi saya berharap semua pihak dapat ‘melihat rencana ini secara konstruktif dan merebut kesempatan untuk menghentikan perang.’” (Qatar Tribune)

Tantangan di Depan

Meski menjanjikan, jalan ini tidak mudah. Ada beberapa tantangan nyata.

  1. Sikap Israel

Bagi Israel, proposal Trump lebih menguntungkan karena memberi celah untuk tetap hadir di Gaza. Amandemen Arab akan dipandang terlalu memberi konsesi kepada Hamas. Sulit membayangkan Israel menyetujuinya tanpa tekanan besar.

  1. Fragmentasi internal Palestina

Hubungan Hamas dan PA belum membaik. Karena sejak subuh, Mahmoud Abas (Presiden Otoritas Palestina) berulang kali menyatakan Hamas tidak boleh terlibat dalam tata kelola Gaza pasca-perang. Jika formula Arab tidak hati-hati, justru bisa memicu konflik baru antar faksi.

  1. Keterlibatan internasional

AS tetap memegang kunci dana dan diplomasi. Tanpa keterlibatan Washington, sulit menggerakkan PBB atau lembaga donor. Pertanyaannya: apakah AS mau mengubah rencana sesuai versi Arab? Bisa, jika ada gelombang tekanan besar yang mengancam geo-strategis dan geo-politik AS, misal China dan Rusia ‘batuk-batuk’ sambil melirik memainkan kartunya di dunia Islam, dan pemerintah negara besar Eropa ikut menekan Gedung Putih karena desakan publik mereka.

  1. Opini publik Arab dan internasional

Negara-negara seperti Mesir, Arab Saudi, dan Qatar, termasuk Indonesia dan Turki juga harus menjaga citra di mata rakyatnya. Mereka tidak bisa terlihat seperti “menjual” Gaza atau menyerahkan leher mereka ke entitas musuh. Tekanan publik domestik dan global bisa memengaruhi seberapa keras mereka mendesak Washington.

Masa Depan Gaza: Tarik-Menarik Tiga Poros

Jika ditarik ke peta besar, masa depan Gaza kini berada di persimpangan tiga poros: 1) Poros AS–Israel, yang ingin mempertahankan kontrol dan mendikte syarat perdamaian. 2) Poros Arab, yang berusaha mengembalikan legitimasi ke Palestina, meski dengan risiko perbedaan kepentingan di antara mereka sendiri. 3) Poros Hamas dan kelompok perlawanan, yang ingin tetap menjadi bagian dari kesepakatan politik, meski harus menyesuaikan posisi mereka.

Gaza akan menjadi ajang tarik-menarik di antara tiga poros ini. Siapa yang lebih dominan akan menentukan wajah Gaza pasca-perang.

Antara Harapan dan Skeptis

Rencana Trump dalam bentuk aslinya tampaknya akan sulit diterima oleh pihak mana pun di kawasan. Amandemen Arab memberi harapan: sebuah kerangka yang lebih realistis, lebih berpihak pada kedaulatan Palestina, dan memberi ruang negosiasi bagi Hamas. Amandemen Arab memberi napas politik baru, menjembatani jurang antara kepentingan Israel, tekanan internasional, dan aspirasi rakyat Palestina.

Namun, skeptisisme tetap besar. Israel hampir pasti menolak. Washington mungkin enggan mengubah rancangan yang disusun lingkaran Trump. Dan di dalam Palestina sendiri, konflik faksi masih rawan. Meski demikian, langkah negara-negara Arab ini patut diapresiasi. Setidaknya, untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir, mereka tidak hanya menjadi penonton, tapi ikut menulis naskah masa depan Gaza.

Apakah amandemen Arab akan menjadi jalan baru menuju perdamaian, atau hanya menambah daftar panjang “rencana perdamaian” yang kandas di meja perundingan? Sejarah akan menjawab. Tetapi satu hal pasti: Gaza tidak bisa lagi sekadar menjadi objek tawar-menawar geopolitik.

Suara dan kepentingan rakyat Palestina harus tetap menjadi pusat dari setiap solusi. Salah satu faktor determinan yang harus diperhitungkan, tekanan masyarakat sipil global yang membesar seperti bola salju. Tuntutan mereka jelas: setop genosida, hentikan perang sekarang juga, Palestina Merdeka dan tentukan nasibnya sendiri!

Rencana Trump mungkin ditulis di Washington dan dinegosiasikan di Kairo dan Doha, tapi Gaza bukan halaman kosong di atas kertas. Ia adalah tanah dengan sejarah panjang luka, dan perlawanan rakyat yang tak bisa dihapuskan oleh pena para penjagal dan pembegal di Washington dan Tel Aviv.

Jakarta, 3 Oktober 2025

https://www.republika.co.id/berita/t3ink1451/trump-amandemen-arab-dan-sikap-hamas-siapa-yang-menentukan-masa-depan-palestina?utm_source=wa_channel