Oleh : Fahmi Salim, Direktur Baitul Maqdis Institute – Majelis Tabligh PP Muhammadiyah

MKI Media— Deklarasi Sharm el-Sheikh pada 13–14 Oktober 2025 menandai babak baru diplomasi Timur Tengah. Empat kepala negara—Amerika Serikat, Mesir, Turki, dan Qatar—menandatangani dokumen yang disebut sebagai “Trump Declaration for Enduring Peace and Prosperity”.

Presiden Prabowo Subianto memang hadir sebagai saksi undangan, namun rakyat Indonesia memandangnya sebagai simbol kebangkitan diplomasi Indonesia yang mencoba meneguhkan posisi di antara moralitas dan realpolitik global.

Namun, euforia deklarasi dan kehadiran Prabowo itu segera diikuti tanda tanya: apakah dokumen tersebut benar-benar menjamin terwujudnya solusi dua negara yang adil bagi Palestina? Ataukah hanya menjadi kompromi politik sementara yang meredakan tekanan internasional tanpa mengubah struktur ketidakadilan yang telah berlangsung puluhan tahun?

Dilema Sharm el-Sheikh: Perdamaian atau Penundaan?

Deklarasi empat negara (AS, Mesir, Qatar, Turki) di Sharm el-Sheikh menjanjikan tiga hal: penghentian kekerasan di Gaza, pembentukan mekanisme rekonstruksi kemanusiaan, dan proses transisi politik menuju stabilitas jangka panjang. Tetapi tidak ada satu pun klausul eksplisit mengenai batas waktu pembentukan negara Palestina yang merdeka dan berdaulat.

Inilah yang menimbulkan kegelisahan diplomatik: bagaimana mungkin berbicara tentang perdamaian tanpa menjawab akar ketidakadilan politik? Bagi Indonesia—yang konstitusinya menegaskan bahwa “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan”—dukungan terhadap perjanjian seperti ini harus disertai dengan syarat moral dan politik yang jelas.

Presiden Prabowo tampak memilih posisi yang hati-hati. Ia mendukung perjanjian tersebut demi kemanusiaan, tetapi menegaskan bahwa solusi dua negara tetap menjadi satu-satunya jalan damai yang adil dan berkelanjutan. Dalam konteks ini, Indonesia berupaya menjadi broker of peace yang independen, bukan sekadar pengikut kekuatan besar.

Jejak Diplomasi Indonesia: Dari Prinsip ke Pragmatisme

Sejak masa Soekarno, politik luar negeri Indonesia berdiri di atas fondasi moral: anti-penjajahan dan pembelaan terhadap bangsa tertindas. Konferensi Asia–Afrika 1955 di Bandung menegaskan posisi itu. Dalam beberapa dekade, Indonesia menjadi suara dunia Selatan yang menyerukan kemandirian dan keadilan global.

Namun, di era geopolitik multipolar saat ini, diplomasi Indonesia harus lebih fleksibel. Prabowo mewarisi semangat moral itu, tetapi mengemasnya dengan pendekatan yang lebih pragmatis—membangun kepercayaan lintas blok, dari Washington hingga Doha, dari Paris hingga Riyad, dari Ankara hingga Kairo. Pendekatan ini mencerminkan keyakinan bahwa suara moral tidak boleh berhenti di mimbar, tetapi harus hadir nyata di meja perundingan.

Arti Dukungan Presiden Prabowo terhadap Deklarasi Trump

Dukungan Indonesia bisa bermakna beberapa hal — ada nilai strategis, juga risiko politis. Bernilai strategis-positif, jika Indonesia mengambil posisi konstruktif dalam proses diplomasi internasional; berusaha menjadi bagian dari upaya mengakhiri penderitaan Gaza dan membuka jalur rekonstruksi.

Dukungan Prabowo dapat memperbesar pengaruh Indonesia di forum multilater alur perundingan (OIC, PBB), sehingga memungkinkan tekanan lanjutan agar klausul politik konkret dimasukkan. Praktis: jika deklarasi memfasilitasi akses kemanusiaan dan jeda kekerasan, itu punya nilai moral dan kemanusiaan segera.

Namun dukungan Prabowo bukan tanpa risiko politik. Jika deklarasi tidak memuat jaminan politik, dukungan RI bisa dilihat domestik/ internasional sebagai legitimasi tanpa kepastian — berisiko ditafsirkan sebagai “menyetujui” status quo tanpa tuntutan hak Palestina. Hilangnya leverage moral bagi Indonesia untuk menuntut solusi dua-negara bila dukungan diberikan tanpa syarat. Juga patut dihitung potensi kritik dari aktor-aktor pro-Palestina domestik dan kawat implikasi bagi citra politik luar negeri RI di mata publik Muslim internasional.

Strategi Indonesia: Tiga Pilar Pendekatan

Dalam membaca posisi Indonesia paska Deklarasi Sharm el-Sheikh, ijinkan kami memberikan masukan konstruktif buat Presiden Prabowo dan Menlu Sugiono. Diplomasi Indonesia terkait isu Palestina setidaknya harus berdiri tegak di atas tiga pilar strategi diplomasi: hukum dan keadilan internasional, kemanusiaan sebelum politik, dan koalisi untuk stabilitas regional.

  1. Narasi Hukum dan Keadilan Internasional

Indonesia harus mendudukkan perjuangan Palestina sebagai isu hukum internasional, bukan sekadar konflik politik atau agama. Dengan mendukung langkah-langkah PBB, Mahkamah Internasional (ICJ), dan Mahkamah Kriminal Internasional (ICC), Indonesia menegaskan bahwa muqawamah—perlawanan terhadap penjajahan—adalah hak yang sah menurut hukum humaniter.

Dalam pidato Prabowo di forum UNGA 2025, terlihat upaya untuk mengembalikan legitimasi moral perjuangan Palestina ke ranah rule-based order. Dengan cara ini, Indonesia ingin menunjukkan bahwa keadilan bukan milik ‘siapa yang kuat’ (dalam hal ini: Barat dan Israel), tetapi milik semua bangsa yang menjunjung tinggi hukum internasional.

  1. Fokus pada Kemanusiaan Sebelum Politik

Strategi kedua adalah memusatkan narasi pada penderitaan manusia. Selama dua tahun terakhir, dunia menyaksikan kehancuran Gaza: lebih dari 66 ribu korban jiwa, jutaan pengungsi, dan infrastruktur luluh lantak. Indonesia harus berupaya kuat menggeser perdebatan dari politik identitas menjadi isu kemanusiaan universal.

Pendekatan ini terbukti efektif menggerakkan simpati deep society global—masyarakat sipil di Barat, Amerika Latin, Asia, dan Afrika yang mulai memandang Palestina sebagai cermin nurani dunia. Indonesia perlu mendorong pembentukan Humanitarian Coalition for Palestine Reconstruction, sebagai wadah internasional yang menggabungkan bantuan medis, pendidikan, dan rekonstruksi sipil Gaza.

  1. Koalisi untuk Stabilitas Regional

Prabowo tentu memahami bahwa tanpa keadilan bagi Palestina, tidak ada stabilitas jangka panjang di Timur Tengah. Karenanya, Prabowo perlu mendorong agar Palestina ditempatkan sebagai inti arsitektur keamanan kawasan. Ini sekaligus menjawab narasi Trump di Knesset Israel beberapa waktu lalu yang menekankan “normalisasi regional tanpa prasyarat Palestina”—gagasan yang secara moral dan politik berisiko melanggengkan penjajahan.

Indonesia harus menawarkan konsep sebaliknya: peace through justice. Perdamaian tidak bisa tumbuh dari ketimpangan, dan stabilitas hanya mungkin jika Palestina berdiri sebagai negara merdeka dan berdaulat yang diakui secara internasional.

Antara Moralitas dan Realpolitik

Diplomasi Prabowo di Sharm el-Sheikh menggambarkan keseimbangan sulit antara prinsip dan pragmatisme. Di satu sisi, Indonesia tidak ingin keluar dari arus besar rekonsiliasi Timur Tengah yang dimotori kuartet -AS, Mesir, Turki, Qatar-. Namun di sisi lain, Indonesia juga tidak bisa mengkhianati prinsip konstitusionalnya sendiri yang menolak segala bentuk penjajahan.

Sikap paling realistis adalah dukungan bersyarat: Indonesia mendukung gencatan senjata dan rekonstruksi Gaza, tetapi tetap menuntut adanya tahapan politik menuju pembentukan negara Palestina merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kota. Ini sejalan dengan posisi historis Indonesia sejak era Soeharto hingga Jokowi, kini diteruskan dengan gaya negosiasi khas Prabowo yang tegas namun terbuka terhadap kompromi diplomatik.

Peluang dan Tantangan ke Depan

Secara geopolitik, Indonesia memiliki peluang besar untuk memainkan peran strategis. Dunia multipolar membuka ruang bagi kekuatan menengah seperti Indonesia untuk menjadi jembatan antarblok. Opini publik global juga berubah: simpati terhadap perjuangan Palestina kini meluas di kalangan masyarakat Barat, sekalipun pemerintah mereka masih terikat aliansi lama dengan Israel.

Namun, tantangannya tidak kecil. Amerika Serikat dan Israel masih memegang kendali terhadap infrastruktur diplomasi formal. Perpecahan internal Palestina antara Hamas dan Otoritas Palestina juga membuat peta politik cukup kompleks. Sementara itu, Indonesia harus berhati-hati agar tidak terseret dalam rivalitas ideologis antara Iran, Turki, dan blok Teluk.

Jalan Panjang Menuju Keadilan

Perdamaian sejati bukan sekadar suara bom berakhir dan isak tangis berhenti, atau kembalinya tahanan/sandera ke keluarga mereka, tetapi dimulainya kedaulatan dan keadilan. Presiden Prabowo kini berada di titik sejarah yang menentukan: apakah Indonesia akan menjadi sekadar peserta dan saksi dalam perundingan yang tidak mengubah realitas, atau justru menjadi penjaga moral dunia yang menuntun proses menuju Palestina merdeka.

Presiden Prabowo tampaknya memahami bahwa diplomasi bukan hanya soal kekuatan militer atau ekonomi, tetapi juga soal narasi dan moral. Dalam lanskap dunia yang kian sinis, Indonesia masih memiliki sesuatu yang langka: kredibilitas moral.

Dan jika kredibilitas itu digunakan dengan cerdas—berdiri bersama kemanusiaan, bukan kepentingan sempit kekuasaan—maka mungkin, untuk pertama kalinya dalam sejarah modern, Indonesia bisa menjadi penentu arah perdamaian yang adil di Palestina.

Diplomasi Indonesia harus terus bergaung dengan semangat pembuka UUD 1945: “Bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.”

Jakarta, 16 Oktober 2025

Sumber:

https://analisis.republika.co.id/berita/t476fh451/prabowo-perdamaian-gaza-dan-solusi-dua-negara?utm_source=wa_channel