Oleh : Fahmi Salim, Direktur Baitul Maqdis Institute – Majelis Tabligh PP Muhammadiyah

MKI Media–Ketika berita mengenai rencana Konferensi Tingkat Tinggi Perdamaian Gaza yang diketuai bersama oleh Presiden AS Donald Trump dan Presiden Mesir Abdel Fatah El-Sisi di kota resort Sharm el-Sheikh, Mesir pada Senin, 13/10/2025 mulai beredar, banyak pihak di dunia Arab dan Islam menyambutnya dengan hati-hati. Ada yang melihat peluang strategis untuk mengembalikan perhatian dunia pada isu Palestina, tetapi ada juga yang khawatir konferensi itu hanya akan menjadi panggung politik baru bagi kepentingan Amerika Serikat dan Israel, sekutu utamanya di Timur Tengah.

Namun di balik pro dan kontra itu, tersimpan satu pertanyaan penting: dapatkah Mesir memanfaatkan momentum ini untuk memulihkan posisi Palestina di pusat percaturan politik internasional?

Jawabannya sangat bergantung pada bagaimana otoritas Mesir membingkai narasi-narasi utama KTT Perdamaian Gaza. Sebagaimana diusulkan dalam analisis geopolitik yang banyak dibicarakan di kalangan diplomat Arab, ada tiga pendekatan utama yang bisa menjadi fondasi strategis bagi KTT Sharm el-Sheikh: keadilan dan hukum internasional, pendekatan kemanusiaan, dan koalisi stabilitas regional.

  1. Keadilan dan Hukum Internasional

Sejak awal abad ke-20, isu Palestina selalu terjebak dalam narasi politik dan agama tertentu (terutama klaim-klaim Taurat-Judaisme), bukan narasi hukum. Padahal, dasar perjuangan rakyat Palestina bukanlah perebutan wilayah semata, melainkan hak atas kemerdekaan dan kedaulatan sebagaimana dijamin oleh Piagam PBB dan hukum internasional.

Dengan demikian, bila KTT Sharm el-Sheikh hendak memberi dampak nyata, Mesir dapat mengarahkan segenap kekuatan diplomasinya untuk fokus pembahasan pada kerangka hukum internasional—mulai dari Resolusi PBB No. 242 dan 338 hingga Konvensi Jenewa yang melarang pendudukan dan pemindahan paksa penduduk.

Pendekatan ini menegaskan bahwa Palestina bukan “isu politik” tetapi “kewajiban moral dan hukum internasional”.

Ketika bahasa diplomasi bergeser dari “konflik” menuju “keadilan”, dukungan internasional menjadi lebih luas dan inklusif. Inilah yang terbukti dalam berbagai gerakan global: mulai dari anti-apartheid di Afrika Selatan, perang Vietnam hingga perjuangan kemerdekaan Timor Timur—semuanya berhasil karena dunia menilai perjuangan itu sah secara moral dan legal.

Media internasional dan lembaga hak asasi manusia dapat dilibatkan untuk menampilkan narasi data dan dokumen hukum: jumlah pelanggaran, resolusi yang diabaikan, serta dampak blokade terhadap warga sipil Gaza. Dengan cara itu, isu Palestina dibingkai ulang bukan sebagai “konflik agama” atau “masalah keamanan”, melainkan sebagai pelanggaran hukum internasional dan kemanusiaan.

  1. Fokus pada Manusia, Bukan Politik

Sejak serangan besar Israel terhadap Gaza pada Oktober 2023, dunia menyaksikan krisis kemanusiaan terburuk di abad ke-21: puluhan ribu warga sipil tewas, ratusan ribu mengungsi, dan infrastruktur hancur total. Sayangnya, banyak konferensi internasional yang justru gagal menyentuh sisi kemanusiaan ini karena terjebak pada debat politik yang kering.

Jika Mesir dan 20 pemimpin dunia plus Sekjen PBB ingin menjadikan KTT Sharm el-Sheikh berbeda, pendekatan kemanusiaan harus menjadi prioritas utama.

Bayangkan jika setiap sesi pembicaraan dimulai dengan pemutaran video singkat tentang kondisi anak-anak Gaza yang kehilangan rumah, sekolah, atau keluarga. Sebuah pendekatan yang bukan sekadar emosional, tetapi membangun kesadaran moral global bahwa tragedi Palestina bukan statistik—ia adalah wajah nyata dari penderitaan manusia yang ditindas oleh rejim kolonial dan apartheid Israel.

Diplomasi kemanusiaan semacam ini dapat menggeser orientasi politik negara-negara besar. Uni Eropa, misalnya, mungkin masih berhitung secara strategis dalam isu Palestina, tetapi arus opini publik (deep society) di negara-negara Barat sudah jauh lebih pro-Palestina dibandingkan elit politiknya (deep state).

Dengan demikian, fokus pada “manusia sebelum politik” akan membuat konferensi ini lebih sulit ditolak oleh siapa pun, termasuk oleh pihak-pihak yang biasanya menolak pendekatan ideologis terhadap Palestina.

Selain itu, strategi ini akan membuka ruang kerja sama yang lebih luas dan inklusif—bukan hanya antara negara, tetapi juga antara organisasi kemanusiaan, lembaga pendidikan, dan masyarakat sipil internasional.

  1. Palestina sebagai Kunci Perdamaian Timur Tengah

Pendekatan ketiga adalah yang paling strategis secara geopolitik: menjadikan Palestina sebagai pusat skema keamanan dan stabilitas regional.

Dalam konteks ini, Mesir bersama negara-negara kunci dunia Islam seperti Arab Saudi, Indonesia, Turki, dan Pakistan dapat membangun narasi baru: bahwa tanpa negara Palestina yang merdeka, kawasan Timur Tengah dan dunia Islam tidak akan pernah stabil. Tanpa stabilitas politik dan keamanan, angin surga yang ditawarkan Israel dan AS kepada dunia Islam agar masuk jalur ‘Abraham Accord’ dengan imbalan kemakmuran dan kemajuan sains-teknologi, sama saja dengan mimpi siang bolong.

Pendekatan ini berbeda dari sekadar diplomasi normatif. Ia mengusulkan sebuah “perjanjian besar” di mana semua pihak—termasuk Israel—memiliki kepentingan langsung terhadap perdamaian. Namun, syarat dasarnya jelas: keadilan bagi rakyat Palestina.

Dengan menampilkan peta kepentingan bersama yang mengaitkan isu keamanan, energi, dan perdagangan dengan penyelesaian adil atas konflik Palestina, konferensi ini dapat menegaskan kembali posisi Palestina sebagai poros keseimbangan regional, bukan sekadar korban yang bisa diberikan kompensasi sekadarnya.

Konsep “koalisi untuk stabilitas” ini juga dapat menjadi platform diplomasi alternatif bagi dunia Islam di tengah menurunnya kredibilitas lembaga-lembaga global seperti Dewan Keamanan PBB. Jika berhasil, Kairo, Riyad, Jakarta, Doha dan Istanbul dapat tampil sebagai poros mediator kredibel yang menyatukan kekuatan Arab dan Islam dalam satu narasi yang realistis dan futuristik.

Menimbang Peluang dan Tantangan

Tentu saja, peluang besar selalu datang bersama tantangan besar.

Pertama, ada risiko bahwa kehadiran Trump akan dimanfaatkan untuk mempromosikan agenda pro-Israel atau mengalihkan isu kemanusiaan menjadi narasi keamanan.

Kedua, sebagian negara Arab mungkin masih terbelah antara tekanan domestik dan kepentingan strategis dengan Washington.

Ketiga, masih ada defisit kepercayaan internal di tubuh Palestina sendiri, terutama antara Otoritas Palestina di Ramallah dan kelompok perlawanan di Gaza.

Namun di tengah semua keterbatasan itu, Kairo tetap memiliki posisi istimewa.

Mesir adalah satu-satunya negara yang mampu berbicara dengan semua pihak: Amerika Serikat, Israel, Hamas, dan negara-negara Arab.

Dengan sejarah panjangnya dalam diplomasi Timur Tengah, Mesir bisa memainkan peran ganda — sebagai penjaga moral isu Palestina sekaligus jembatan politik internasional.

Dari Gaza Menuju Dunia yang Lebih Adil

Jika tiga pendekatan ini — keadilan internasional, kemanusiaan, dan stabilitas regional — digabung secara cerdas, maka KTT Sharm el-Sheikh berpotensi menjadi titik balik diplomasi global Palestina.

Bukan berarti konferensi ini akan langsung memerdekakan Palestina, tetapi ia dapat menjadi platform narasi baru: bahwa kemerdekaan dan kedaulatan Palestina dengan ibukota Al-Quds sesuai garis batas 1967 bukan ancaman, melainkan syarat mutlak bagi perdamaian global.

Sejarah menunjukkan, revolusi besar sering dimulai dari perubahan narasi. Ketika dunia mulai percaya bahwa Palestina adalah simbol kemanusiaan dan keadilan universal — bukan sekadar konflik politik — maka kekuatan moral itu akan menekan perubahan di tingkat negara dan lembaga internasional.

Sebagaimana pernah dikatakan oleh Nelson Mandela: “Kebebasan kita tidak akan sempurna sampai Palestina juga merdeka.”

Kini, mungkin giliran 20 pemimpin dunia (terutama Presiden RI Prabowo Subianto) dan Sekjen PBB yang hadir sebagai saksi ‘Perjanjian Damai Gaza’ yang menulis bab baru dari sejarah itu — bukan dengan senjata, tetapi dengan narasi moral, visi politik, dan diplomasi yang berpihak pada kemanusiaan yang dipicu oleh ‘Badai Al-Aqsa 2023’ yang melahirkan gelombang ‘Badai Kesadaran Global 2025’ di seluruh dunia.

Umat manusia sejagat tak akan mengizinkan arogansi kekuasaan AS dan klaim ras pilihan Tuhan Israel itu terus mengangkangi kebenaran dan keadilan. Semoga rahmat dan keridhaan Allah diberikan kepada rakyat Gaza dan para pemimpinnya, yang masih hidup dan yang telah syahid. Darah dan ‘sumud’ mereka telah berjasa menuliskan baris pertama dari bab terakhir rejim kolonial Israel di lembaran sejarah dunia.

Jakarta, 14 Oktober 2025

Sumber:

https://www.republika.co.id/berita/t43h06451/ktt-sharm-el-sheikh-dan-harapan-baru-untuk-palestina?utm_source=wa_channel