Oleh : Fahmi Salim, Direktur Baitul Maqdis Institute – Majelis Tabligh PP Muhammadiyah
MKI Media, Jakarta — Ketika dunia menyaksikan agresi militer dan kehancuran di Gaza sejak 7 Oktober 2023, sedikit yang menyadari bahwa di balik tragedi kemanusiaan itu sedang tumbuh gelombang kesadaran baru yang melintasi batas agama, bangsa, dan ideologi.
Taufan Al-Aqsa bukan sekadar peristiwa militer, melainkan simbol kebangkitan moral dunia terhadap penjajahan modern. Dari New York hingga Jakarta, dari kampus hingga jalanan, seruan untuk keadilan Palestina kini menggema sebagai tanda lahirnya babak baru: revolusi kesadaran global menuju kemerdekaan Palestina.
Pagi tadi pukul 6.14 wib saya menerima kabar bahwa Hamas merilis pernyataan resmi tercapainya kesepakatan mengakhiri perang di Gaza, menarik pasukan IDF, masuknya bantuan kemanusiaan dan pertukaran tahanan. Di saat bersamaan, Donald Trump di akun pribadinya di Truth Social @realDonaldTrump dengan bangga menyebut Israel dan Hamas telah bersepakat tandatangani fase 1 rencana damai. Selamat, tapi jangan buru-buru optimis. Jalan masih berliku dan ingat kebiasaan Israel yang suka bermanuver ingkar janji.
Masih tentang Taufan Al-Aqsa. Tak pernah bosan membahasnya dari berbagai sudut. Ada yang cenderung pada kronologi peristiwa yang ‘dingin’ tak bernyawa, seolah peristiwa itu terjadi ratusan atau ribuan tahun silam, padahal ia masih basah segar di pelupuk mata.
Ada yang bahas dari tinjauan fiqih jihad, apa maslahat mafsadatnya? Sampai ada pendaku ilmu dan pendakwa risalah yang mencela rakyat dan mujahidin Gaza: kalian Rafidhah sesat, khawarij ‘anjing neraka’, menjatuhkan diri ke dalam kehancuran yang dilarang agama, dan seabrek tudingan lainnya.
Kedua spesies ini lupa satu kaidah, cita-cita besar perlu pengorbanan besar. Mereka yang cuma puas jadi penonton dan pembaca di sudut layar, atau jadi mufti culas pesanan penguasa harusnya malu di depan mahkamah sejarah: mereka telah mati pada saat hati nurani dunia hidup dan bangkit dari kuburnya.
Ketika dunia dikejutkan oleh peristiwa Taufan Al-Aqsa pada 7 Oktober 2023, banyak yang menilainya sebagai serangan militer paling berani, brilian dan berisiko tinggi dalam sejarah konflik Israel–Palestina. Namun sesungguhnya, peristiwa itu tidak berhenti pada dimensi militer. Ia menjadi titik balik kesadaran global tentang kolonialisme modern, keadilan, dan martabat kemanusiaan.
Dalam hitungan jam, sistem pertahanan Israel yang selama ini dianggap paling canggih di dunia berhasil ditembus. Tetapi setelah itu, Gaza menghadapi kehancuran yang belum pernah terjadi dalam sejarah modern. 66.000 warga sipil gugur, 168.000 masih terkubur di bawah reruntuhan ribuan rumah dan fasilitas publik yang hancur, ratusan ribu lainnya terluka, dan seluruh wilayah Gaza nyaris terhapus dari peta kehidupan.
Ajaibnya, dari reruntuhan puing dan luka itulah lahir gelombang empati dan solidaritas internasional terbesar sejak masa perjuangan anti-apartheid Afrika Selatan. Taufan Al-Aqsa, yang oleh banyak analis disebut sebagai “mukjizat militer sekaligus tindakan berisiko tinggi”, kini menjelma menjadi badai moral dan kesadaran dunia.
Dari Perang Senjata ke Perang Kesadaran
Dalam beberapa dekade terakhir, narasi besar tentang konflik Palestina sering dikendalikan oleh media dan kepentingan politik negara-negara besar. Tetapi pasca-2023, arus itu mulai berbalik.
Demonstrasi pro-Palestina merebak di lebih dari 80 negara. Kampus-kampus ternama di Amerika dan Eropa—seperti Harvard, Oxford, dan Cambridge—menjadi pusat advokasi kemanusiaan yang menekan kebijakan luar negeri negaranya sendiri. Di media sosial, jutaan pengguna menandai akun mereka dengan bendera Palestina, menandakan bahwa dukungan terhadap kemerdekaan Palestina telah melampaui batas geografis dan ideologis.
Fenomena ini memperlihatkan bahwa perjuangan Palestina bukan lagi isu politik dan keamanan Timur Tengah atau isu agama semata. Ia telah menjadi simbol universal perlawanan terhadap ketidakadilan global, sebagaimana perjuangan Vietnam melawan kolonialisme Prancis atau rakyat Afrika Selatan melawan rejim apartheid.
Memang benar — meskipun deep state (struktur kekuasaan, militer, intelijen, korporasi) di Barat belum berubah total, tapi deep society (masyarakat akar rumput, intelektual, aktivis, buruh, mahasiswa, artis, akademisi) sudah sangat berubah.
Kita melihat: Gelombang demonstrasi pro-Palestina di universitas-universitas elite AS dan Eropa. Pergeseran opini publik di Amerika Latin dan Afrika. Narasi perlawanan Palestina kini dianggap “gerakan dekolonisasi modern.”
Artinya, “Taufan Al-Aqsa” tidak hanya pertempuran fisik, tapi perang narasi global — dan pada level moral serta kesadaran, Palestina telah menang.
Pelajaran dari Sejarah Revolusi Kemerdekaan
Untuk memahami masa depan Palestina, kita perlu menengok kembali sejarah bangsa-bangsa yang meraih kemerdekaan setelah Perang Dunia II.
Ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 1945, perjuangan bersenjata diikuti dengan diplomasi intensif. Konferensi Meja Bundar 1949 menjadi bukti bahwa persatuan nasional, perjuangan bersenjata, diplomasi dan tekanan internasional dapat memaksa kekuatan kolonial mengakui kedaulatan bangsa yang gigih memperjuangkan haknya.
Begitu pula dengan Aljazair (1954–1962). Revolusi kemerdekaan yang menewaskan lebih dari satu juta jiwa akhirnya berhasil mengguncang opini publik Prancis dan membuka jalan bagi kemerdekaan Aljazair. Vietnam (1945–1975) menunjukkan kombinasi antara keteguhan militer lokal dan dukungan global terhadap semangat anti-kolonial yang akhirnya mengakhiri dominasi Amerika Serikat.
Dari pengalaman itu, ada lima pelajaran penting yang bisa dipetik oleh perjuangan Palestina:
- Persatuan nasional adalah fondasi revolusi. Tanpa kesatuan visi politik dan kepemimpinan terpadu, perjuangan mudah dipecah bahkan disabotase dari dalam.
- Legitimasi moral di mata dunia. Dukungan masyarakat internasional (deep society) sering kali lebih kuat daripada dukungan pemerintah (deep state).
- Momentum geopolitik global. Kemerdekaan sering tercapai saat tatanan dunia sedang berubah—seperti pasca perang besar dunia atau krisis ekonomi global.
- Kekuatan narasi. Revolusi berhasil ketika dunia percaya bahwa perjuangan itu sah, bermoral, dan sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal.
- Keseimbangan antara perlawanan dan diplomasi. Perang di lapangan dan perundingan di meja diplomasi bukan dua hal yang bertentangan, melainkan saling melengkapi.
Taufan Al-Aqsa: Revolusi pra-Kemerdekaan
Dalam konteks sejarah itu, Taufan Al-Aqsa bisa dipahami sebagai revolusi pra-kemerdekaan Palestina. Ia belum melahirkan kemerdekaan politik, tetapi telah mengguncang legitimasi moral Israel di mata dunia.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah modern, banyak kalangan di Barat mulai meninjau ulang posisi mereka terhadap konflik ini. Lembaga-lembaga HAM internasional dan politisi terkemuka di negara Barat kini berani menggunakan istilah “apartheid”, “pembersihan etnis”, hingga “genosida” dalam laporan resmi mereka terhadap Israel. Contoh nyata, Tucker Carlson seorang ahli politik konservatif AS speak up dan bersuara keras mengkritisi Israel. Dia terkenal di seantero dunia dengan ucapannya, “Stop calling it a war. It’s genocide, it’s an invasion, it’s ethnic cleansing!”
Lebih penting lagi, dukungan masyarakat sipil global terhadap Palestina meningkat drastis, meski pemerintah negara besar masih berhati-hati. Ini yang disebut para analis sebagai pergeseran dari deep state ke deep society: ketika hati nurani masyarakat dunia lebih cepat bergerak daripada kepentingan geopolitik negaranya.
Taufan al-Aqsa seolah mengubah taktik meraih simpati global dari mempengaruhi ‘deep state’ yang perlu perjuangan 8 dekade untuk sampai ke titik ini, dengan menyentuh sisi kemanusiaan yang paling fundamental hingga merasuk ke jantung ‘deep society’ dan mengubah pandangan dan perilaku masyarakat internasional dalam melihat isu Palestina.
Namun perjuangan ini tetap menghadapi rintangan besar. Amerika Serikat masih menjadi pendukung utama Israel dengan paket bantuan militer miliaran dolar per tahun. Uni Eropa terbelah antara tekanan moral dari publik dan kepentingan ekonomi strategis di kawasan Timur Tengah. Sementara itu, perpecahan internal di tubuh Palestina, antara Otoritas Palestina di Tepi Barat dan kelompok perlawanan di Gaza, terus menghambat terbentuknya satu kepemimpinan nasional yang solid.
Selain itu, sistem global yang masih dikendalikan oleh kepentingan ekonomi dan industri senjata membuat perang seringkali lebih “menguntungkan” bagi kekuatan besar daripada perdamaian.
Peluang Baru di Tengah Kekacauan Global
Meski demikian, peluang untuk lahirnya tatanan baru dunia tidak sepenuhnya tertutup. Perang Ukraina, ketegangan di Laut Cina Selatan, serta pergeseran kekuatan dunia ke arah multipolar telah mengubah keseimbangan geopolitik global.
Banyak negara di Amerika Latin, Afrika, dan Asia kini lebih berani mengambil posisi pro-Palestina. Bolivia dan Kolombia menurunkan hubungan diplomatik dengan Israel, sementara Afrika Selatan membawa kasus genosida Israel ke Mahkamah Internasional (ICJ). Indonesia, melalui diplomasi publik dan forum multilateral, terus menegaskan dukungan pada kemerdekaan penuh Palestina dengan Al-Quds (Yerusalem Timur) sebagai ibu kotanya.
Inilah momentum yang harus dimanfaatkan. Sebab sejarah menunjukkan bahwa perubahan besar selalu lahir dari krisis global. Indonesia merdeka saat dunia terpecah antara blok Barat dan Timur. Negara-negara Arab lahir dari keruntuhan Kekaisaran Ottoman. Dan mungkin, Palestina akan merdeka saat dunia mulai lelah dan jengah pada hegemoni tunggal Amerika Serikat dan mencari sistem internasional yang lebih adil.
Komunitas internasional bisa mempertaruhkan masa depan Palestina kepada ‘deep society’ AS untuk memaksa ‘deep state’ AS untuk mengubah total sikapnya terhadap Palestina. Peluang terbuka lebar jika mereka kompak suarakan evaluasi hubungan AS-Israel: “Jangan bajak negara kami, kami sudah lelah, Our Passionate Attachment to the Zionist State has Got to Stop!” seperti disampaikan Phillip Tourney, veteran tentara AS yang selamat dari insiden USS Liberty-8 Juni 1967.
Dari Tragedi Menuju Transformasi
Taufan Al-Aqsa adalah tragedi kemanusiaan, tetapi juga awal transformasi kesadaran dunia. Ia menyalakan alarm masyarakat internasional bahwa kolonialisme belum berakhir, hanya berganti wajah. Ia menunjukkan bahwa senjata bukan satu-satunya kekuatan. Sementara narasi dan kekuatan moral dan hati nurani bisa menembus tembok tebal istana dan ibu kota dunia yang paling kokoh sekalipun.
Jika perlawanan di Gaza mampu bertahan, membangun kembali kekuatan sipil, dan menyatukan faksi-faksi politiknya, maka revolusi kemerdekaan Palestina akan menemukan bentuknya sendiri — bukan dengan meniru revolusi lain, tetapi dengan menjadi simbol universal perjuangan melawan penjajahan modern.
Kesimpulan
Jelas sekali bahwa perlawanan Gaza itu berdampak luas dan dalam secara geopolitik internasional. Israel tidak akan buat kesepakatan damai dengan kelompok perlawanan, kecuali ada kartu truf yang diajukan oleh Hamas di meja perundingan setelah 2 tahun mereka bertahan. Ibarat pertandingan sepak bola, Hamas tidak pernah patah sampai menit ke 90 bahkan sampai ‘injury time’ tambahan waktu. Mereka telah buktikan menang di lapangan atau setidaknya bermain seri/imbang. Jika masih ada gonggongan orang yang menyerang perlawanan Gaza, itu karena mereka tidak mengerti arti kehormatan, tidak percaya manfaat perlawanan, dan lebih senang hidup dalam kehinaan.
Pengadilan sejarah akhirnya memutuskan bahwa ‘muqawamah’, perlawanan, resistensi militer terhadap penjajah adalah sah, bukan barang haram apalagi aliran sesat, dia tidak boleh dikriminalisasi. Justru entitas penjajah Israel itulah yang sedang diburu dan dikejar oleh mahkamah internasional, sementara para pejuang muqawamah jadi ikon pahlawan di seluruh dunia.
Dan jika dunia benar-benar belajar dari sejarah, maka tragedi Gaza bukanlah akhir, melainkan awal dari tatanan baru dunia yang lebih adil bagi umat manusia.
“Dan Kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi itu, dan hendak menjadikan mereka pemimpin-pemimpin, dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi.” (QS. Al-Qashash: 5)
Jakarta, 9 Oktober 2025