Oleh : Fahmi Salim, Direktur Baitul Maqdis Institute – Majelis Tabligh PP Muhammadiyah
MKI Media, Jakarta –Setelah hampir dua tahun genosida yang menelan puluhan ribu korban, dunia akhirnya menyaksikan peluang besar perdamaian di Gaza. Serangkaian pernyataan resmi dari Israel, Hamas, Mesir, Rusia, hingga Amerika Serikat menandai tercapainya kesepakatan gencatan senjata dan penarikan pasukan pendudukan dari Jalur Gaza.
Walau masih menunggu pengesahan kabinet Israel, momentum ini menandai titik balik penting dalam dinamika geopolitik Timur Tengah yang penuh risiko. Gaza, yang selama dua tahun menjadi simbol penderitaan kemanusiaan, kini menjadi arena uji bagi kesungguhan dunia dalam menegakkan keadilan dan perdamaian.
Negosiasi Panjang dan Peran Negara Mediator
Dalam pernyataan resminya, Hamas menegaskan bahwa kesepakatan ini lahir dari negosiasi serius untuk mengakhiri perang pemusnahan terhadap rakyat Palestina dan memastikan penarikan pasukan Israel. Gerakan itu menyampaikan apresiasi kepada Qatar, Mesir, dan Turki sebagai mediator utama, serta mengakui peran Presiden AS Donald Trump yang kembali aktif dalam upaya diplomasi di Sharm el-Sheikh.
Keterlibatan Trump menjadi ironi geopolitik tersendiri. Setelah masa pemerintahan Biden yang cenderung pro-Israel, kehadiran Trump sebagai inisiator perdamaian menunjukkan perubahan taktis Washington. Sementara itu, Mesir dan Qatar tetap memegang peran penting sebagai jembatan komunikasi yang menjaga keseimbangan antara kepentingan regional dan Barat.
Rusia, melalui pernyataan resmi Kremlin, juga menyambut positif kesepakatan tersebut. Bagi Moskow, perdamaian di Gaza bukan hanya soal stabilitas kawasan, tetapi juga peluang untuk menegaskan posisi Rusia sebagai kekuatan penyeimbang dalam sistem dunia yang semakin multipolar.
Dilema Strategis bagi Israel dan Hamas
Kesepakatan ini membawa implikasi politik yang kompleks. Bagi Hamas, deklarasi gencatan senjata adalah kemenangan simbolik. Setelah dua tahun pertempuran sengit, mereka berhasil memaksa Israel untuk duduk di meja perundingan — sebuah pencapaian yang jarang terjadi. Dalam kacamata politik perlawanan, pengakuan internasional terhadap peran Hamas di meja negosiasi memberi legitimasi politik baru.
Bukan itu saja, Hamas juga berhasil memaksa Israel membebaskan tahanan politik Palestina papan atas seperti: Marwan Bargouti, Ahmed Saadat, Ibrahim Hamed dan Hassan Salameh. Dibebaskannya mereka sudah pasti akan memperkuat persatuan nasional Palestina dan menggagalkan rencana klasik Israel untuk memecah belah antara kubu Gaza pro-perlawanan dan kubu Ramallah yang tunduk kepada syarat penjajah. Ini akan membuka era baru dominasi kubu perlawanan Palestina yang akan memimpin pemerintahan persatuan nasional, dan kebangkrutan faksi Fatah yang anti-perlawanan dan kordinasi keamanan dengan Israel sejak Oslo Accord 1993 yang banyak merugikan kepentingan nasional Palestina.
Bagi Israel, keputusan ini menghadirkan dilema. Pemerintahan Benjamin Netanyahu menghadapi tekanan besar dari dalam negeri: kelompok sayap kanan menolak kompromi, sementara publik menuntut penghentian perang dan pembebasan sandera. Kantor Netanyahu bahkan menegaskan bahwa gencatan senjata baru berlaku setelah disetujui kabinet — tanda tarik-menarik kepentingan antara politik, militer, dan tekanan moral masyarakat.
Di sisi internasional, Israel juga menghadapi krisis legitimasi. Laporan lembaga HAM dunia dan keputusan Mahkamah Internasional (ICJ) yang menyinggung indikasi genosida memperlemah posisi diplomatik Tel Aviv. Bila kesepakatan ini gagal dijalankan dengan konsisten, reputasi Israel sebagai negara demokratis di Timur Tengah akan semakin goyah.
Perubahan Opini Global dan Kekuatan ‘Deep Society’
Salah satu perubahan paling signifikan dalam dua tahun terakhir adalah pergeseran opini publik global. Isu Palestina tidak lagi dipandang semata dari kacamata politik atau agama, melainkan sebagai simbol universal perlawanan terhadap ketidakadilan.
Demonstrasi di kampus-kampus ternama seperti Harvard, Oxford, dan Cambridge menunjukkan bahwa generasi muda Barat mulai menolak narasi lama yang bias terhadap Israel. Tercatat 45.000 aksi protes massa di 793 kota, di 25 negara Eropa selama periode 2 tahun genosida Gaza terbutki efekti menekan dan mengubah kebijakan negara-negara Eropa sehingga lahir gelombang pengakuan negara Palestina di akhir September 2025.
Fenomena ini mencerminkan kebangkitan “deep society” — masyarakat sipil global yang mulai mengoreksi sikap “deep state” negara mereka sendiri. Di Amerika Latin dan Afrika, solidaritas terhadap Gaza kini dipahami sebagai kelanjutan dari perjuangan anti-kolonial. Bila tren ini berlanjut, tekanan dari akar rumput dapat mendorong perubahan nyata dalam kebijakan luar negeri negara-negara besar.
Tantangan Internal dan Struktur Global
Namun, peluang perdamaian ini tidak datang tanpa tantangan. Perpecahan internal antara Hamas di Gaza dan Otoritas Palestina di Tepi Barat masih menjadi hambatan utama menuju satu kepemimpinan nasional. Tanpa konsolidasi politik, perjuangan diplomatik Palestina mudah terfragmentasi dan kehilangan arah di forum internasional.
Selain itu, sistem ekonomi global yang masih dikendalikan oleh kepentingan industri militer dan energi membuat perdamaian sering kali dianggap tidak menguntungkan bagi kekuatan besar. Konflik berkepanjangan di Gaza, secara paradoks, memberi ruang bagi industri senjata untuk terus beroperasi dengan justifikasi keamanan regional.
Di tengah kondisi itu, tekanan moral dari masyarakat sipil dunia menjadi sangat penting. Tanpa pengawasan publik, kesepakatan damai rentan berubah menjadi sekadar “jeda taktis” sebelum konflik berikutnya.
Momentum Multipolar dan Peluang Baru
Dunia saat ini tengah bergerak menuju sistem multipolar. Perang di Ukraina, ketegangan di Laut Cina Selatan, dan menguatnya blok BRICS menandai berakhirnya dominasi satu kutub kekuasaan. Dalam konteks itu, isu Palestina berpotensi menjadi simbol global bagi perjuangan menuju tatanan dunia yang lebih adil dan berimbang.
Banyak negara di Amerika Latin, Afrika, dan Asia kini lebih berani mengambil posisi pro-Palestina. Bolivia dan Kolombia telah menurunkan hubungan diplomatik dengan Israel, sementara Afrika Selatan menggugat Israel ke Mahkamah Internasional atas dugaan genosida. Indonesia juga konsisten menyuarakan dukungan bagi kemerdekaan penuh Palestina, baik melalui diplomasi publik maupun forum multilateral.
Pergeseran geopolitik ini menunjukkan bahwa perjuangan Palestina bukan hanya tentang batas wilayah, tetapi juga tentang arah moral dan struktur baru dunia pasca-hegemoni tunggal Amerika Serikat.
Refleksi: Dari Tragedi Menuju Transformasi
Gencatan senjata di Gaza bukanlah akhir dari perjuangan, melainkan awal dari proses panjang menuju kedaulatan dan persatuan nasional Palestina. Sejarah menunjukkan bahwa setiap bangsa yang merdeka melewati fase revolusi kesadaran sebelum kemerdekaan politik tercapai.
Indonesia, Aljazair, dan Vietnam adalah contoh nyata bagaimana perlawanan rakyat, diplomasi, dan legitimasi moral dunia berpadu dalam satu arah. Palestina kini berada di titik serupa — di mana perlawanan bersenjata mulai bertransformasi menjadi perjuangan politik dan diplomatik yang lebih matang.
Dunia Islam, termasuk Indonesia, memiliki tanggung jawab moral dan diplomatik untuk memastikan perdamaian ini tidak menjadi kompromi yang timpang. Dengan kapasitas diplomasi dan pengaruh moralnya, Indonesia dapat memainkan peran jembatan antara dunia Islam dan Barat, menegaskan bahwa solusi damai tidak bertentangan dengan keadilan.
Penutup
Gaza hari ini bukan sekadar lokasi konflik, tetapi laboratorium moral bagi dunia modern. Dari reruntuhan dan luka, lahir kesadaran baru bahwa kekuatan sejati bukan diukur dari dominasi militer, melainkan dari keberanian mempertahankan martabat manusia.
Jika dunia benar-benar belajar dari sejarah, maka gencatan senjata ini dapat menjadi lebih dari sekadar penghentian perang — ia bisa menjadi awal dari perubahan arah sejarah menuju tatanan dunia yang lebih manusiawi dan berkeadilan.