Oleh : Fahmi Salim, Direktur Baitul Maqdis Institute – Majelis Tabligh PP Muhammadiyah
MKI Media, JAKARTA — Ketika Donald Trump bersama ‘Bibi’ Netanyahu mengumumkan “21 Poin Rencana Gaza” pada 30/9/2025, mereka menyebutnya sebagai jalan keluar dari konflik yang telah menelan puluhan ribu korban jiwa dan menghancurkan Gaza.
‘Bibi’ menyatakan ‘Rencana Trump’ ini akan menghidupkan kembali proyek Abraham Accord 2020, yang sudah kehilangan pamor. Dengan enteng dia mengatakan, bahwa kehancuran yang dialami rakyat Gaza adalah nubuat dari Al-Kitab Kejadian 12:3 “Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau (Abraham), dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau; dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat.”
Ayat Bible yang sering dijadikan dasar teologis oleh kelompok Kristen Zionis yang mendominasi politik AS untuk mendukung Israel modern tanpa syarat.
Rencana ini dipromosikan sebagai formula pragmatis yang akan menghentikan perang, membebaskan sandera, mengalirkan bantuan, serta memulai tahapan rekonstruksi. Namun, jika ditelaah lebih dalam, “Rencana Trump–Netanyahu” bukanlah peta jalan menuju perdamaian.
Ia lebih menyerupai proyek politik yang menormalkan pendudukan, melucuti perlawanan, dan menghapus kedaulatan Palestina. Apa yang diklaim sebagai “hal positif” hanyalah ilusi; sementara substansi rencana justru memperkuat posisi Israel dan memperlemah perjuangan rakyat Palestina.
Ilusi Kemanusiaan
Beberapa poin dalam ‘Gaza Plan’ tampak memberi harapan: penghentian operasi militer Israel bila kesepakatan diterima, pembebasan ribuan tahanan Palestina, serta arus bantuan internasional untuk rekonstruksi. Jika benar terwujud, hal ini tentu membawa manfaat kemanusiaan jangka pendek: nyawa bisa terselamatkan, keluarga dipertemukan, dan rumah-rumah bisa dibangun kembali.
Tetapi kita perlu berhati-hati. Janji kemanusiaan itu tidak disertai jaminan politik yang jelas. Tidak ada komitmen eksplisit tentang penarikan penuh pasukan Israel dari Gaza, “After all people constantly say the IDF should withdraw.. No way, that’s not happening,” ketus ‘Bibi’. Tidak ada jaminan pembentukan negara Palestina berdaulat.
Tidak ada mekanisme hukum yang melindungi rakyat Palestina dari serangan berikutnya. Dengan kata lain, rencana ini mengubah penderitaan Gaza menjadi komoditas politik, sambil menghindar dari isu inti: hak bangsa Palestina atas tanah, kemerdekaan, dan kedaulatan.
Tiga Tujuan Utama Israel
Membaca naskah rencana Trump secara kritis, terlihat jelas tiga kepentingan Israel yang difasilitasi Trump:
- Pengembalian sandera – inilah prioritas utama pemerintah Israel, dan rencana ini memastikan kebutuhan itu dipenuhi.
- Penghancuran perlawanan – infrastruktur militer Hamas dibongkar, terowongan dihancurkan, dan para pejuang dilucuti. Rakyat Gaza dipaksa menerima status sebagai komunitas sipil tak bersenjata tanpa jaminan perlindungan. (Al Jazeera. (2025). Full text of Trump’s 21-point Gaza plan.)
- Legitimasi pendudukan – meskipun disebutkan Israel tidak akan mencaplok Gaza, pasukan IDF tetap ditempatkan sampai “pasukan internasional” siap. Tidak ada tenggat yang jelas. (Reuters. (2025). “Trump peace plan allows Israeli forces to stay in Gaza until international handover.”) Ini membuka ruang bagi Israel untuk tetap bercokol tanpa kewajiban menarik diri.
Dengan demikian, rencana ini bukanlah jalan damai, melainkan strategi untuk mengubah agresi militer menjadi keuntungan diplomatik.
Menghapus Kedaulatan Palestina
Bahaya terbesar dari rencana ini adalah reduksi identitas politik Palestina. Gaza tidak akan diperintah oleh perwakilan rakyatnya sendiri, melainkan oleh “pemerintahan transisi teknokrat” di bawah pengawasan badan internasional ‘Board of Peace’ bentukan Amerika. Hamas dilarang ikut serta, sementara Otoritas Palestina hanya diberi syarat samar untuk “reformasi”.
Rakyat Palestina, sekali lagi, didefinisikan dari luar, bukan dari dirinya sendiri. Mereka direduksi menjadi objek deradikalisasi, bukan subjek politik yang sah. Padahal, hak menentukan nasib sendiri adalah prinsip fundamental hukum internasional. (United Nations. (1960). Declaration on the Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples [UNGA Resolution 1514]).
Rencana ini justru menjadikan Gaza laboratorium proyek geopolitik: sebuah wilayah tanpa senjata, tanpa kedaulatan, dan tanpa kepastian masa depan.
Deradikalisasi
Salah satu bagian paling problematis dari rencana ini adalah program “deradikalisasi” yang dikemas dalam bentuk dialog antaragama. Sekilas tampak mulia, tetapi risiko manipulasi sangat besar.
Istilah “radikalisasi” sering digunakan untuk mengkriminalisasi perlawanan sah terhadap penjajahan. (Amnesty International. (2024). Israel/OPT: Criminalizing dissent under security pretexts.)
Lebih jauh, program ini cenderung mengalihkan perhatian dunia dari isu pokok: ketidakadilan struktural akibat pendudukan Israel.
Alih-alih memberdayakan masyarakat Gaza, ia berpotensi meredam aspirasi politik mereka dan melanggengkan ketergantungan pada kekuatan eksternal.
Menolak Perdamaian Palsu
Sebagian pihak menyebut rencana ini sebagai “kejahatan yang lebih ringan”—lebih baik menerima daripada melanjutkan perang. Pandangan ini lahir dari rasa lelah dan putus asa setelah dua tahun Gaza dibombardir tanpa henti. (The Guardian. (2025). “Palestinians divided over Trump-Netanyahu plan amid Gaza devastation.”) Namun, sejarah membuktikan bahwa perdamaian tanpa keadilan hanya menunda konflik, bukan menyelesaikannya.
Rencana Trump–Netanyahu bukan sekadar kompromi; ia adalah upaya sistematis menghapus identitas politik Palestina. Dengan menerima rencana ini, dunia dipaksa mengakui bahwa Palestina cukup menjadi komunitas tanpa kedaulatan, hidup dari belas kasihan donor, dan tunduk pada pengawasan asing. Inilah makna sesungguhnya dari “perdamaian” yang ditawarkan: perdamaian untuk Israel, ketidakadilan permanen untuk Palestina.
Mantan Direktur Jenderal IAEA dan peraih Nobel Perdamaian, Mohamed ElBaradei, dengan tegas menyatakan usai konferensi pers Gedung Putih: “Saya mendengarkan seksama konferensi pers di Gedung Putih tentang Gaza dan Palestina..Ini bukanlah sebuah rencana perdamaian, melainkan sebuah rencana kepasrahan dan penaklukan.” Pernyataan ini menggambarkan dengan jelas bagaimana rencana tersebut dipandang oleh komunitas internasional yang peduli pada keadilan.
Sikap yang Diperlukan
Apa yang harus dilakukan komunitas internasional—termasuk Indonesia—dalam menghadapi rencana ini?
Pertama, menolak secara tegas setiap kesepakatan yang tidak menjamin hak dasar Palestina: kemerdekaan, kedaulatan, dan kepemilikan tanah. Indonesia harus konsisten dengan amanat konstitusi untuk menolak segala bentuk penjajahan. (UUD 1945, Pembukaan: “Penjajahan di atas dunia harus dihapuskan…”)
Kedua, menegaskan legitimasi perlawanan dalam kerangka hukum internasional. Bangsa yang terjajah berhak memperjuangkan kemerdekaannya. Bentuk perlawanan bisa beragam, termasuk diplomasi, mobilisasi massa, maupun aksi non-kekerasan. Tetapi hak itu tidak boleh dihapus hanya demi keamanan pihak penjajah.
Ketiga, mendorong solusi multilateral yang adil di bawah mandat PBB, bukan rencana unilateral Amerika. Hanya mekanisme internasional yang sahih yang bisa menjamin keseimbangan antara kebutuhan keamanan dan keadilan politik. (Chatham House. (2025). Why unilateral peace frameworks fail in the Middle East.)
Keempat, memperkuat suara masyarakat sipil global. Demonstrasi besar di Eropa, Amerika, dan Asia sepanjang 2025 menunjukkan bahwa suara Gaza adalah suara kemanusiaan universal. (Middle East Eye. (2025). “Global protests for Gaza mark largest solidarity wave since Iraq war.”) Momentum ini harus dijaga agar tidak direduksi menjadi narasi teknokratis-kolonial tanpa ruh solidaritas global untuk negara Palestina merdeka dan berdaulat.
Penutup
“Rencana Trump–Netanyahu” bukanlah proyek perdamaian, melainkan proyek penghapusan perjuangan Palestina. Ia tidak memberi kedaulatan, tidak memberi keadilan, bahkan tidak memberi jaminan keamanan jangka panjang. Yang ada hanyalah janji kosong dan kontrol yang diperluas.
Karena itu, menolak rencana ini bukan sekadar pilihan politik, melainkan kewajiban moral. Membiarkannya berhasil akan membuka jalan bagi model “perdamaian” serupa di masa depan—perdamaian yang hanya menguntungkan penjajah, mematikan aspirasi bangsa terjajah dan membelokkan gelombang besar suara publik internasional untuk mengakhiri genosida dan mewujudkan negara Palestina merdeka dan berdaulat.
Jaga Martabat Kemanusiaan
Gaza adalah simbol perlawanan terhadap ketidakadilan global. Menjaga perjuangan Palestina berarti menjaga martabat kemanusiaan itu sendiri. Dunia, termasuk Indonesia, harus berdiri tegak di sisi sejarah yang benar: bukan bersama jalan damai palsu, melainkan bersama perjuangan hakiki untuk kebebasan dan kedaulatan Palestina dengan peta jalan politik-keamanan yang jelas berlandaskan prinsip hukum internasional dan multilateralisme.
Jika para pihak menerima ‘Rencana Trump-Netanyahu’ tanpa syarat, bisa diartikan bahwa solidaritas kemanusiaan global ditelikung oleh para elit politik negara-negara Arab-Muslim untuk selamatkan wajah buruk zionis.
Mereka harusnya sadar, mendukung Palestina bukan sekadar agenda Arab-Muslim, tapi konsensus nurani global. Percayalah bahwa gelombang suara nurani keadilan dunia akan menumbangkan rejim pembegal hak-hak Palestina: AS-Israel yang sudah di ujung tanduk.
Jakarta, 1 Oktober 2025
Sumber:
https://analisis.republika.co.id/berita/t3fqbc451/rencana-trumpnetanyahu-apakah-adil-bagi-perjuangan-palestina