Oleh Fahmi Salim, Direktur Baitul Maqdis Institute – Majelis Tabligh PP Muhammadiyah

MKI Media–Presiden RI Prabowo Subianto menyampaikan pidato bersejarah di Sidang Majelis Umum PBB pada 23/9/2025, menekankan komitmen Indonesia terhadap solusi dua negara dan menegaskan: “Begitu Israel mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Palestina, Indonesia siap mengakui Israel serta menjamin keamanannya.” Pidato ini dipuji banyak pihak karena menawarkan posisi yang tegas sekaligus konstruktif: mendukung Palestina sepenuh hati, namun membuka peluang jalan damai sejati.

Gayung bersambut, Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, dalam pidatonya di forum yang sama pada 26/9/2025 menyebut Indonesia sebagai “negara Muslim terbesar dengan pandangan ke depan,” dan menilai normalisasi dengan Israel akan membuka peluang besar kerja sama di bidang sains, teknologi, pertanian, air, hingga kecerdasan buatan.

Pernyataan Netanyahu langsung ditindaklanjuti pemasangan baliho digital (billboard) besar di kota Tel Aviv atas nama AbrahamShield.org, foto Presiden Prabowo berjejer dengan Netanyahu dan Donald Trump dengan tulisan: ‘Mr. President, Israel Stands with Your Plan Seal the Deal’. Baliho itu juga diunggah di akun X @AbrahamShield25 pada Ahad (28/9/2025) yang telah dilihat  2,9 juta kali dan memicu perdebatan sengit dan melibatkan netizen Indonesia.

 

Dilema Normalisasi: Jalan Cepat atau Jalan Konstitusi?

Saya melihat pemasangan baliho itu tidak mengejutkan. Biasalah, Israel yang sedang terpojok dan hampir karam diterjang badai pengakuan negara Palestina oleh 150 negara dan gelombang pasang demonstrasi global yang mengutuk genosida Israel di Gaza. Orang yang akan tenggelam akan mencari pegangan, serapuh apapun itu.

Bagi Israel, normalisasi dengan Indonesia tentu menjadi “hadiah geopolitik” yang sangat strategis. Dengan 270 juta penduduk, mayoritas Muslim, Indonesia bisa dianggap “pencapaian puncak” dari Abraham Accords yang sejak 2020 telah merangkul UEA, Bahrain, Maroko, dan Sudan.

Namun, bagi Indonesia, persoalannya jauh lebih kompleks. Konstitusi UUD 1945 dengan jelas menyatakan bahwa “penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Sejak era Bung Karno, Indonesia konsisten mendukung Palestina sebagai bangsa yang terjajah.

Normalisasi tanpa penyelesaian akar masalah – yaitu pendudukan, aneksasi, dan kini genosida di Gaza – akan berarti pengkhianatan terhadap amanat konstitusi dan jati diri politik luar negeri bebas-aktif Indonesia.

 

Genosida Gaza dan Tuntutan Keadilan

Data dari PBB, WHO, dan lembaga kemanusiaan internasional menunjukkan: sejak 7 Oktober 2023 hingga pertengahan 2025, lebih dari 65 ribu warga Palestina terbunuh, mayoritas perempuan dan anak-anak. Infrastruktur sipil, rumah sakit, sekolah, hingga kamp pengungsian menjadi target bombardir. Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap pejabat tinggi Israel atas dugaan kejahatan perang dan genosida.

Dalam konteks inilah, Presiden Prabowo harus peka, tidak hanya menegaskan Indonesia mendukung solusi dua negara, tetapi juga menuntut agar perang segera dihentikan dan para pelaku genosida diadili di pengadilan internasional.

 

Respon Tepat Indonesia atas Netanyahu

Pernyataan Netanyahu yang “merayu” Indonesia untuk ikut normalisasi justru memperlihatkan kontradiksi besar: di satu sisi menawarkan teknologi dan kerja sama, di sisi lain terus melanjutkan perang di Gaza dan menolak negara Palestina.

Respon yang tepat dari Presiden Indonesia setidaknya mencakup tiga hal:

  1. Kecaman Tegas atas Genosida: Menolak normalisasi selama Israel melanjutkan perang di Gaza, membunuh warga sipil, dan melanggar hukum humaniter internasional.
  2. Komitmen pada Konstitusi: Menegaskan bahwa Indonesia hanya akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel setelah Palestina benar-benar merdeka dan kedaulatannya diakui.
  3. Dukungan pada Mekanisme Hukum Internasional: Mendesak Israel mematuhi resolusi PBB dan menyerahkan pejabat yang bertanggung jawab atas kejahatan perang ke ICC.

 

Kesimpulan

Bagi Indonesia, jalan menuju perdamaian bukan lewat normalisasi sepihak, melainkan lewat keadilan. Jalan damai hanya bisa lahir jika Palestina merdeka, kedaulatan dipulihkan, dan genosida dihentikan.

Dengan demikian, respon Presiden RI atas Netanyahu jelas: Indonesia bukan menutup pintu, tetapi menegaskan syarat yang tak bisa ditawar—Palestina Merdeka dahulu, baru normalisasi mungkin dibicarakan. Dengan begitu, Indonesia tetap berada di jalur sejarah yang benar: membela kemerdekaan bangsa terjajah dan menolak segala bentuk penjajahan sesuai amanat konstitusinya.

Jakarta, 30 September 2025