Oleh Doddy Al Jambary
MKI Media -Bahasa adalah anugerah terbesar setelah iman. Ia menjadi jembatan antara pikiran dan rasa, antara hati dan realitas. Melalui bahasa, manusia berbagi makna, menebar ilmu, bahkan membangun peradaban.
Namun, di balik kelenturan bahasa itu, sering muncul salah paham, bukan karena pesan yang salah, melainkan karena keragaman gaya dalam menyampaikannya.
Sastra hadir sebagai puncak keindahan bahasa. Ia mampu melembutkan gejolak, melunakkan sarkasme, melukai tanpa darah, bahkan menyulut tanpa api. Di balik untaian kata, tersimpan kekuatan untuk menggerakkan jiwa. Tidak heran, puncak sastra yang tiada tanding adalah Al-Qur’an tahta tertinggi bahasa Ilahi.
Kitab suci ini berdiri dalam kesempurnaan, sekaligus indah dalam kesederhanaan. Ada ayat-ayat *muhkamat, jelas tanpa ruang interpretasi, dan ada ayat-ayat “majazi”, simbolis dan penuh analogi, memberi keleluasaan renungan.
Kadang Allah berbicara begitu personal, seakan menyapa langsung ke dalam hati, kadang pula integral dan menyeluruh.
Inilah yang saya sebut sebagai bahasa dakwah: bahasa yang menyentuh akal, membangunkan rasa, sekaligus menenangkan jiwa.
Allah menegaskan betapa pentingnya bahasa dalam dakwah:
* Surah Maryam (19):97
“Maka sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur’an itu dengan bahasamu, agar engkau memberi kabar gembira kepada orang-orang yang bertakwa, dan agar engkau memberi peringatan kepada kaum yang membangkang.”
* Surah Ad-Dukhan (44):58
“Sesungguhnya Kami mudahkan Al-Qur’an itu dengan bahasamu, supaya mereka mendapat pelajaran.”
Rasulullah ﷺ pun kerap bersabda dengan bahasa yang jami’ul kalim: singkat namun padat makna. Ada saat beliau berkata tegas, lantang, bahkan pahit:
Qulil haqqo walau kana murron (Katakanlah kebenaran meskipun pahit).
Namun di saat lain, beliau menekankan kelembutan dalam berdakwah. Allah mengingatkan:
* QS. Ali ‘Imran (3):159
“…Sekiranya engkau bersikap keras lagi berhati kasar, niscaya mereka akan menjauh darimu.”
* QS. An-Nahl (16):125
“Ajaklah (mereka) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik, dan berdebatlah dengan cara yang paling elegan.”
ما شاء الله وتبارك الله
Bahasa dakwah bukan hanya soal ragam bahasa (suku, bangsa, atau negara), tetapi juga soal jenis bahasa—apakah ia berupa lisan, tulisan, isyarat, sandi, atau bahkan kesepakatan hati.
Bagaimana seseorang bisa memahami sesuatu jika ia tidak mengerti bahasa yang digunakan? Maka seorang da’i tidak cukup hanya menyampaikan, tetapi juga memastikan pesan itu dapat dipahami, dirasakan, dan dihidupkan.
Era Digital
Kini, bahasa dakwah melintasi ruang-ruang digital. Ia hadir dalam teks singkat, podcast, video, meme, bahkan emoji. Tantangannya bukan sekadar memilih kata yang tepat, melainkan menyesuaikannya dengan medium dan berbagai konteks.
Sebuah frasa bisa menjadi penghibur, tetapi di ruang maya yang serba cepat, ia juga bisa menimbulkan salah tafsir. Karena itu, dakwah memerlukan kearifan: jernih dalam makna, indah dalam ungkapan, penuh kasih dalam penyampaian.
Bahasa dakwah adalah seni menyapa jiwa. Jika ia berangkat dari ketulusan, ia akan menjadi cahaya. Jika berangkat dari amarah, ia hanya akan menjadi bara.
Akhirnya,
Setiap kita, sejatinya, adalah da’i. Setidaknya bagi diri sendiri, keluarga, dan lingkar terdekat. Kita bisa memilih kata yang menyembuhkan bahkan yang melukai. Kita bisa menjadikan bahasa sekadar alat bicara, atau menjadikannya jembatan rahmat.
Karena pada akhirnya, bahasa dakwah adalah seni menghadirkan kebenaran dengan keindahan, dan menyampaikan kasih dengan kekuatan.