Oleh Fahmi Salim
Founder Al-Fahmu Institute
Tadi malam (19/6/2025) di acara Peluncuran Buku Al-Fahmu Institute di arena Islamic Book Fair ke-23 Hall A JCC, saya tertegun mendengar isi sambutan Dr. Ahed Abou El Atta Ketua YPSP (Yayasan Persahabatan dan Studi Peradaban) saat gilirannya membedah buku Kronik Perlawanan Palestina karya Ustadz Muhammad Ilhami, pengkaji sejarah Islam dari Mesir.
Ustadz Ahed mencuplik ucapan seorang filsuf muslim terkemuka dan terkenal abad-20 asal Aljazair yaitu Malik Ben Nabi yang menyatakan begini, “Ummatun la taqro’ tamuutu qobla awaniha”. Artinya, suatu umat atau bangsa yang tidak biasa membaca dia akan mati sebelum waktunya. Ungkapan yang menusuk ulu hati saya, ketika dunia literasi Islam dan nasional saat ini tengah mati suri.
Indonesia memiliki gedung perpustakaan tertinggi di dunia versi MURI yang tingginya mencapai 126 meter dengan 27 lantai. Sebuah bangunan megah ikonik di jejeran gedung jangkung ibukota di Jalan Merdeka Selatan. Tapi apakah itu mencerminkan tingginya budaya literasi bangsa kita?
Kondisi Dunia Islam
Budaya membaca suatu bangsa akan sangat ‘relate’ dengan budaya riset dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di negara tersebut.
Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, Jerman, Swedia, Belgia, Swiss, Austria dan Singapura dimana anggaran riset dan pengembangan negara-negara maju itu sebesar 2-4% dari Product Domestic Bruto. Itu artinya rata-rata penduduknya menyumbangkan 1.300 sd 1.800 USD/orang perkapita untuk anggaran riset dan pengembangan negaranya. Bahkan Korsel dan Israhell anggaran risetnya sudah diatas 4% tepatnya 4,3%. Itu artinya tiap warga Korsel dan Israhell spend uang 1.361 USD hingga 1.518 USD dari perkapita setahunnya untuk anggaran riset dan pengembangan di negara mereka.
Bandingkan dengan kondisi Indonesia yang anggaran risetnya hanya 0,31% dari total PDB yaitu kurleb 2 Milyar USD/tahun yang artinya tiap penduduk RI hanya sumbangkan 8,09 USD untuk keperluan riset iptek. Ini sangat jauh dari tetangga kita Singapura yang 1.813 USD dan Malaysia yang 344 USD. Kita hanya beda tipis dari Pakistan yang 13,29 USD/orang perkapita untuk anggaran risetnya.
Negara muslim lain yang agak mendingan adalah Turkiye dengan 198,36 USD dan Arab Saudi dengan 60 USD per orang perkapita yang sumbang anggaran riset negaranya. Itulah realitas miria yang jomplang antara negara-negara muslim dan negara maju yang didominasi oleh non muslim.
Cuitan Menohok Ben Nabi
Kembali ke ‘cuitan’ Malik Ben Nabi di atas. Ungkapan ini ingin menggambarkan bahwa umat yang tidak peduli dengan membaca dan mencari ilmu akan berakhir dengan kegagalan dan kepunahan. Membaca adalah dasar utama untuk membangun dan memajukan suatu bangsa.
Apa pesan terdalam dari ungkapan di atas?
1. “Umat yang Tidak Membaca”. Siapa yang dituju oleh pernyataan itu? Ia mengacu pada umat yang tidak peduli dengan membaca, tidak berusaha mencari ilmu dan pengetahuan, serta tidak berkomitmen untuk mengembangkan kemampuan intelektualnya. Kira-kira umat yang mana yang dimaksud?
Tentu saja melihat muqtadhol haal-nya (konteks pembicaraan) Malek Ben Nabi sedang menunjuk umat Islam, umatnya Nabi Muhammad saw. Selain karena ia sendiri bagian dari umat itu, dan etikanya sebelum menunjuk hidung umat lain maka seharusnya kita menunjuk hidung kita sendiri. Bukankah saat jemari kita menunjuk orang lain dengan telunjuk kita, 3 jari lain sedang menunjuk ke arah kita sendiri?
Ini bukan hanya soal retorika tapi realita umat Islam membenarkan statemen diatas untuk dirinya sendiri.
2. “Mati Sebelum Waktunya”. Apa maksudnya? Mengindikasikan bahwa umat tersebut akan kehilangan vitalitas dan kekuatannya, mengalami kemunduran dalam posisi mereka di antara bangsa-bangsa lain, serta menghadapi keterbelakangan dan kelemahan. Bahkan, mereka dapat kehilangan identitas dan peradabannya.
Pentingnya Membaca
Umat Islam seharusnya menjadi umat terbaik seperti ditulis dalam kitab suci Al-Quran dengan meningkatkan kualitas dan intensitasnya bacaannya. Bukankah wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad saw adalah perintah membaca? Iqro’, bacalah!
Mengapa Al-Quran memilih redaksi iqro dalam ayat pertama turun, bukannya aqimu shalat wa aatuu azzakat atau kutiba alaykumu asshiyam atau wa lillahi ala annasi hijjul bayt? Ini semua karena Islam adalah risalah peradaban yang menyeluruh. Bukan cuma urusan ibadah yang jadi fokus perhatiannya. Islam adalah tamaddun dan hadharah. Islam bukan agama ritual kosong dan absurd, jauh dari nalar ilmiah dimana aktifitas membaca adalah kunci membangun peradaban yang unggul berkemajuan.
Ayat iqro bagi kita berarti fokus utama agama ini adalah:
1. Membangun Peradaban Bangsa: Membaca adalah dasar pembangunan bangsa, karena dapat mengembangkan kemampuan intelektual individu, meningkatkan kesadaran dan wawasan mereka, serta memperluas pandangan mereka terhadap dunia.
2. Kemajuan Peradaban: Membaca menjadi kunci kemajuan peradaban, karena mendorong pengembangan ilmu pengetahuan, membuka peluang baru untuk kreativitas dan inovasi, serta meningkatkan kemampuan bangsa untuk mengikuti perkembangan global.
3. Menghapus Kebodohan: Membaca membantu menghilangkan kebodohan dan buta huruf, memperluas pemahaman individu tentang dunia sekitar mereka, serta meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan pengambilan keputusan yang tepat.
4. Membangun Kepribadian: Membaca berkontribusi dalam membangun kepribadian seseorang, meningkatkan kepercayaan diri, serta kemampuan berkomunikasi dan mengekspresikan diri.
Melalui ungkapan ini, Malik bin Nabi mengajak kita untuk memperhatikan pentingnya membaca dan mendorong kebiasaan membaca di masyarakat, terutama di kalangan generasi muda untuk mengembalikan kemuliaan dan martabat dunia Islam di pentas global.
Penutup
Maka merenungi dan mengimplementasikan cuitan Malik Ben Nabi dalam kehidupan nyata umat Islam dan pengambilan kebijakan yang afirmatif oleh para pemimpin negara muslim, mutlak menjadi keniscayaan.
Mengapa? Karena daya baca yang tinggi dan berkualitas umat ini akan membebaskan kita dari kemiskinan dan perbudakan para diktator. Sebagaimana cuitan lain Malik Ben Nabi bahwa, “Umat yang membaca tidak akan kelaparan atau diperbudak.” Sehingga, tegas beliau, “Membaca adalah satu-satunya jalan menuju inovasi ilmiah dan kreativitas, dan melahirkan para inovator sains, sastrawan, dan pemikir hebat.”
Itu catatan buat rakyat Indonesia secara umum. Buat para aktifis Islam, dai, mubaligh dan ulama mari kita tingkatkan budaya literasi kita. Dai jangan melulu ceramah lisan. Mari perkuat dakwah lisan kita dengan dakwah bil-qalam. Buat apa? Buat bekal anak cucu dan murid-murid kita yang akan hidup di masa 50 tahun yang akan datang, di tengah kebimbangan dan ketidakpastian nilai, mereka dan umat kita perlu lentera penerang jalan membumikan Al-Quran dan Sunnah di era badai fitnah dajjal di akhir zaman. Semoga
Jakarta, 20 Juni 2025
Dari sudut booth Al-Fahmu Institute no.121 arena IBF Hall A JCC Senayan