Oleh Kholis Bakri

MKI Media-Rajab menjadi bulan istimewa bagi umat Islam, karena sebagian kita  meyakini pada tanggal 27 Rajab, terjadi peristiwa agung yaitu Isro’ Mi’raj yang merupakan awal perintah shalat 5 waktu. Namun,  tak semua ulama berpendapat sama, kapan persisnya peristiwa Isro Mi’raj ini. Ada ulama yang berpendapat peristiwa ini terjadi lima tahun setelah Muhammad diutus sebagai rasul Alloh. Ada juga yang berpendapat terjadi beberapa bulan sebelum hijrah, bahkan terjadi pada bulan Muharram. Pendapat lain menyatakan terjadi pada Rabiul awwal tahun ke-13 kenabian.

Menurut Shafiyurrahman al Mubarakfuri, mengenai pilihan 27 Rajab sebagai hari Isra’ dan Mi’raj menurut Al-Mubarakfuri dalam Al-Rahîq Al-Makhtûm salah satunya bersumber pada tulisan Al-Qadhi Muhammad Sulaiman Salman Al-Mansurfuri (1867-1930) yang berjudul Rahmatan lil ‘Âlamîn. Namun, pendapat ini dikritisi oleh Al Mubarokfuri,   tidak mungkin peristiwa ini terjadi pada tanggal 27 Rajab tahun ke-10 dari Kenabian.

Menurutnya, ada dua alasan yang diajukannya. Pertama, Khadijah meninggal pada bulan Ramadhan tahun ke-10 Kenabian; beliau wafat sebelum turunnya perintah Shalat Lima Waktu. Kedua, semua ulama dan ahli sejarah sepakat bahwa kewajiban Shalat Lima Waktu diturunkan pada saat Isra’ dan Miraj. Oleh sebab dua alasan tersebut, tidak mungkin Isra’ dan Mi’raj terjadi sebelum meninggalnya Khadijah. (Al-Mubarakfuri,Al-Rahîq Al-Makhtûm, Dar Ihya’ Al-Turâts, 1976: 124).

Namun, ada juga ulama, seperti Buya Hamka yang memilih tanggal 27 Rajab sebagai waktu Isra Mi’raj, tapi terjadi di tahun ke-11 kenabian seperti ditulisnya dalam Tafsir Al Azhar. Tentu, memperdebatkan waktu yang tepat dalam peristiwa ini tak begitu penting dibanding mengambil hikmahnya untuk memperkuat keimanan kita. Meskipun bukan sebagai ritual ibadah, sebagian ulama membolehkan menggelar peringatan Isro’ Mi’raj, sepanjang tidak melanggar syariat Islam, apalagi momentum ini dijadikan sebagai media untuk mempersatukan umat dan syiar Islam.

Isro` secara bahasa berasal dari kata ‘saro’ bermakna perjalanan di malam hari. Adapun secara istilah, Isro’` adalah perjalanan rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Jibril dari Masjidil Harom di Mekah ke Masjidil Aqsha di Palestina, sebagaimana disebutkan dalam surat Al Isro ayat 1. Mi’raj secara bahasa adalah suatu alat yang dipakai untuk naik. Adapun secara istilah, mi’raj bermakna tangga khusus yang digunakan oleh  nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk naik dari bumi menuju ke atas langit, seperti yang dijelaskan dalam surat An-Najm ayat 1 hingga18.

Mungkinkah Rasululloh sebagai manusia mampu menembus langit? Perjalanan yang di luar nalar manusia ini harus dipahami dengan keimanan. Karena, akal manusia begitu terbatas untuk mengetahui Kemahakuasaan Alloh. Dalam hadist riwayat Bukhori Muslim diceritakan, ” kemudian aku diberikan seekor binatang yang bukan begal, tapi melebihi keledai putih..”, Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari berpendapat yang dimaksud hadist itu, binatang tunggangan supaya rasulullah menaikinya dalam keadaan nyaman.

Dalam hadist lain riwayat Tirmizi dari Hudzaifah bin al Yaman, rasulullah telah diberikan seekor binatang yang punggungnya panjang dan langkahnya sepanjang mata memandang. Mereka berdua, rasulullah dan Malaikat Jibril tidaklah terpisahkan di atas punggung buroq sehingga mereka menyaksikan surga dan neraka.

Ibnu Duraid mengatakan buroq berasal dari kata al barqi yang bermakna kilat, karena kecepatannya  seperti kilat. Ada juga yang berpendapat, disebut buroq karena bersih, mengkilat dan sangat cepat. Namun, tidak ada satu pun hadist, yang menggambarkan  burog berwajah seperti perempun cantik, dengan memiliki sayap yang indah seperti terlihat dalam berbagai lukisan yang jelas-jelas menyalahi sunnah. Jadi, Apa sesunggugnya buroq itu? .

Kita cukup mendasarkan pada hadist hadist shohih, yang tidak mendeskripsikan secara detail yang dimaksud dengan buroq. Kita cukup mengimani kebenaran peristiwa itu. Namun, para ilmuwan masa kini berusaha memahami buroq dengan perspektif ilmu pengetahuan modern. Jika kita menggunakan nalar sains modern, maka jika buroq diartikan sebagai binatang bersayap, tentu kita menganggapnya aneh, karena binatang bersayap hanya berfungsi dalam lingkungan atmosfir planet, padahal perjalanan Isro’ Mi’raj menembus luar angkasa yang hampa udara, tidak lagi dibutuhkan sayap untuk terbang,  apalagi sebelum menembus keluar atmosfir bumi, tubuh nabi dan binatang buroq, akan bergesekan hingga hancur terbakar. Jangankan perjalanan ke angkasa luar, perjalanan ke Masjidil Aqsa saja yang berjarak 1500 kilometer, tubuh rasulullah akan terkoyak koyak

Jadi perjalanan Isro” Mi’raj dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjid al Aqsha di Palestina, kemudian naik ke Sidratul Muntaha yang berada di langit ketujuh bukanlah perjalanan biasa. Mana mungkin rasulullah bisa menempuh perjalanan ini, hanya ditempuh sekitar 8 jam, bulak balik lagi.. Maka, kita coba bayangkan perjalanan ini dengan mengacu pada surat al Ma’arij, ayat 4. “Para malaikat dan jabril naik menghadap kepada Tuhan dalam sehari setara dengan lima puluh ribu tahun”.

Menurut  Prof. Agus Purwanto Dsc, seorang pakar fisiko teori dalam bukunya Nalar Ayat Ayat Semesta, jika ayat ini dijadikan rujukan kecepatan mi’raj rasulullah, maka kecepatan malaikat diketahui 18.262.500 kali kecepatan manusia. Jika Isro’ Mi’raj berlangsung selama 8 jam, maka kecepatan Malaikat 91.312.500 kilometer per jam. Dan jika kita hitung dari bumi, maka perjalanan rasulullah bersama Jibril hanya baru melewati Mars, dan setengahnya perjalanan menuju Yupiter. Padahal, bintang terdekat saja, Alpha Centauri berjarak 4 tahun cahaya, atau 9,5 trilyun kilometer.

Karena itulah, untuk bisa memahami peristiwa Isro’ Mi’raj, mari kita simak firman Allah Ta’ala, yang artinya:  “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari al masjidil haram ke al masjidil aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. sesungguhnya dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS al-Isro’` : 1)

Ayat ini menjelaskan bahwa Allah Ta’ala yang memperjalankan dan  memindahkan rasululah dari satu tempat ke tempat lain. Allah menggunakan kata “abdihi”, hambanya yang terpilih. kata ini merujuk pada jiwa dan raga, ruhani dan jasmani. Dalam ayat ini juga, Allah menggunakan kata “Laila”, yang merupakan penggalan waktu dalam sehari. Tiga kata kunci inilah, yang merepresentasikan dimensi ruang dan waktu, serta obyek materi-immateri. Karena itulah, menurut Agus Purwanto, Isro’ Mi’raj tidak dapat dipahami sebagai perjalanan dalam ruang dan waktu dengan pemahaman empat dimensi kita, harus ada dimensi lain di luar dimensi yang kita kenal.

Kita wajib menerima dan mengimani tentang kebenaran berita itu. tidak menolak atau mengubah berita tersebut sesuai dengan kenyataannya. Kewajiban kita adalah beriman sesuai dengan berita ghaib yang disampaikan oleh Alloh dan rasul Alloh. Kita pun harus meneladani sifat para sahabat nabi ketika menerima berita ini.

Dalam sebuah riwayat bahwa setelah peristiwa Isro’ Mi’raj, orang-orang musyrikin datang menemui Abu Bakar as shiddiq radhiyallahu ‘anhu.  mereka mengatakan : “lihatlah apa yang telah diucapkan temanmu (yakni muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam)!”. Abu Bakar berkata : “apa yang beliau ucapkan?”. orang-orang musyrik berkata : “dia menyangka bahwasanya dia telah pergi ke Baitul Maqdis dan kemudian dinaikkan ke langit, dan peristiwa tersebut hanya berlangsung satu malam”. Abu Bakar berkata : “jika memang beliau yang mengucapkan, maka sungguh berita tersebut benar sesuai yang beliau ucapkan, karena sesungguhnya beliau adalah orang yang jujur”.

Orang-orang musyrik kembali bertanya: “mengapa demikian?”. Abu Bakar menjawab: “aku membenarkan seandainya berita tersebut lebih dari yang kalian kabarkan. aku membenarkan berita langit yang turun kepada beliau, bagaimana mungkin aku tidak membenarkan beliau tentang perjalanan ke Baitul Maqdis ini?” (HR Al Hakim)

Perhatikan bagaimana sikap Abu Bakar terhadap berita yang datang dari nabi shallallahu ‘alaihi  wa sallam, beliau langsung membenarkan dan mempercayai berita tersebut. Beliau tidak banyak bertanya, meskipun peristiwa tersebut mustahil dilakukan dengan pemahaman ilmu pengetahuan saat itu. Demikianlah seharusnya sikap seorang muslim terhadap setiap berita yang shahih dari yang datang dar  Allah dan rasul-Nya.

Sebelum ke Sidratul Muntaha, rasululloh lebih  lebih dulu mampir ke baitul maqdis. apa hikmah di balik peristiwa ini?  Bisa saja, rasululloh langsung ke Mi’raj dari Mekah. Tapi, Alloh sengaja memperjalankan rasul-Nya dari Mekah ke Al Aqsha, untuk lebih memperkuat hujjah bagi orang-orang musyrik.  Ketika mereka bertanya kepada nabi, maka nabi menceritakan tentang kafilah yang beliau temui selama perjalanannya. Tatkala kafilah tersebut pulang dan orang-orang musyrik bertanya kepada mereka, orang-orang musyrik baru mengetahui benarlah apa yang disampaikan oleh nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hikmah lainnya, untuk menampakkan hubungan antara Masjidil Harom dan Masjidil Aqsha yang berdimensi historis dan masa depan, tak sekedar sebagai kiblat shalat. Karena kedua tempat itu menjadi tonggak perjuangan untuk menegakan al haq. Di Masjidil Aqsha, rasululloh menjadi iman shalat para nabi yang menunjukan keutamaan beliau diantara para nabi. Begitu banyak peristiwa akhir zaman yang berkaitan dengan dua tempat mulia ini, hingga Alloh Ta’ala akhirnya menutup kisah dunia dengan datangnya kiamat,  Wallohu ‘alam