Oleh : Nadia N.A. Dhubyan
Pagi yang buta kala itu,
Setiap jam 3 subuh waktu yang cukup rutin untuk ayahku terbangun,dinginnya air wudhu terus menyegarkan wajahnya yang kian menua namun penuh cinta di atas gelaran sajadah, aku beberapa kali mengintipnya ditangga kedua paling atas, karena posisi kamarnya yang berada di lantai atas. Seringkali kuperhatikan secara diam-diam bukan hanya saat beribadah namun saat beliau tertidur pulas dan nampak lelah dalam hela nafas yang terhempas.
Ayahku memang tak banyak bicara, namun dalam gerak geriknya aku banyak mempelajari cinta yang takkan pernah aku dapatkan dari lelaki manapun di dunia ini. Cintanya pada Allah, Pada ibuku, dan pada anak cucunya begitu luar biasa.
Sayangnya aku tak banyak mengungkapkan kasih sayangku padanya. Rencanaku memang sangat banyak saat itu karena baru lulus strata 1, dan baru saja bekerja di Perusahaan telekomunikasi yang terbilang lumayan besar di Indonesia. Mulai dari menabung, menyisihkan untuk orangtuaku dan banyak hal lain.
Sampai pada saatnya aku mendapatkan Gaji. Kuberikan beberapa untuk Ummi dan 100.000 rupiah untuk ayah dengan pertimbangan Ummi lebih banyak membutuhkan dana di rumah dibanding Ayah dan karena Ayah lebih banyak simpanan uang. Namun, tak kusangka uang sekecil itu begitu Ayah syukuri karena didapat dari anak ke-6 nya, tepatnya anak bungsunya.
Masih terus kuingat kata-katanya dalam ingatan ini “cukupkah untukmu, jika kau berikan ini untuk ayah?”
Entah mengapa kata-katanya justru begitu membuatku menangis dan menyesal tidak memberikannya lebih banyak.
Ya saat itu usiaku 21 tahun. Pemikiranku terkadang pendek, aku orang yang Optimis namun mudah menangis. Seringkali aku menangis saat sendiri bila teringat betapa aku belum bisa membahagiakan orangtuaku.
Tahun kian berganti Angkanya. Aku kian sibuk dengan urusanku. Dan mulai berbisnis saat tabungan Emasku dirasa cukup meskipun ditambah dengan modal nekat. Ayah selalu berpesan kepadaku untuk sering mengajak Ummi, karena Ummi sudah cukup lelah dirumah.
Amanah Ayah dan kecintaanku pada Ummi membuatku senang bersama Ummi mulai dari pengajian beberapa Masjid Besar di Bandung, kegiatan Fashion Show busana muslimah, sampai dengan urusan proyek bangunan dan Interior Design.
Suatu hari bersama pemandangan langit nan mendung, Aku bergegas bersiap berangkat untuk memenuhi jadwal Rapat Rencana Proyek baru bersama beberapa senior gabungan dari Team Lain. Kali itu aku tak mengajak Ummi karena beliau sibuk dengan urusan rumah. Tak biasanya, Ayah begitu semangat memanaskan mobil sederhana yang kubeli dari keringatku sendiri. Meskipun aku tak ingin merepotkannya, hatiku tak tega jika melarangnya melakukan itu.
Setelah Ayah masuk kerumah dan duduk sambil menulis, aku bergegas berpamitan mencium lengan yang sudah puluhan tahun bekerja keras itu. Beliau berkata “Ayah majukan ya mobilnya”
Meski agak aneh, Akupun segera menjawab “Tak perlu Yah, Kan nanti aku kendarai juga”
Sebenarnya hari itu badanku agak lelah, mataku agak berat dan entah kenapa saat Rapat badanku seperti melayang. Ada rasa sakit yang tak bisa diungkapkan.
Kulihat HP ternyata Ummi menghubungi Aku berkali-kali dan aku tak mendengarnya sama sekali. Kubaca pula status Ummi “Ayah Anfal tiba tiba”. Segera ku hubungi kembali namun Ummi tak menjawab. Kemudian aku teringat kakak ke 3 dan segera menghubunginya. Aku sempat salah info Rumah Sakit. Ku telepon kembali kakakku, ia malah menyuruhku pulang. Hatiku tak enak sama sekali, namun berpikir bahwa Ayahku sudah baikan.
Dengan kecepatan tinggi sampailah aku didekat rumah dan kuparkir mobil tanpa memerhatikan posisinya, begitu gontai langkahku karena melihat sekerumunan orang di depan rumahku. Aku masuk ke dalam rumah yang ternyata sudah tergelar karpet. Pemandangan yang sudah kuduga akan jadi 100.000 airmata.
Benarlah.
Ayah sudah diambil Sang Pemiliknya.
Lemas tubuhku.
tak ada lagi kata yang bisa mengungkapkan perasaanku saat itu.
Proyek besar yang ingin kupersembahkan untuk Ayahpun tak lagi berarti.
100.000 rupiah di awal kerja yang ingin kukalikan berlipat untuk Ayah saat berbisnis tinggalah mimpi. Begitulah Dunia. Fana. Hanya Sementara. Sampai malam tiba kupegang erat kaki Ayah yang terbujur kaku dan mulai dingin. Ayah dimakamkan keesokan paginya karena permintaan Kakak ke-2 ku yang tinggal di Semarang.
25 Februari 2015. Itulah hari terakhir dimana kucium lengan yang penuh keberkahan dan kugenggam kaki yang sudah menghabiskan lebih dari 100.000 langkah dalam mencari nafkah.
Oh Ayah, sesalku hanya tinggal kata-kata.
Airmata terus membasahi pipi, jiwa dan hatiku.
Mengapa tak kukatakan saja setiap hari bahwa aku sangat menyayangimu? 😭
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (QS. luqman : 14)